BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Penyebab
utama morbiditas dan mortalitas adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
protozoa dan cacing pada kebanyakan bagian di dunia ini. Istilah protozoa
digunakan untuk merujuk pada organisme infeksius dari divisi binatang, yaitu
parasit. Protozoa merupakan organisme uniseluler yang mampu memperbanyak diri
dalam hospesnya.
Infeksi
protozoa usus menimbulkan variasi yang luas dari sindroma klinis, berkisar dari
status pengidap asimtomatik sampai penyakit berat yang disertai dengan lesi
patologis di saluran pencernaan atau organ lain. Infeksi dengan protozoa usus
biasanya didapat secara oral melalui kontaminasi tinja pada air dan makanan,
dan mereka lebih endemik di negara-negara dengan keadaan air tidak bersih (sehat).
Infeksi
manusia dengan Entamoeba histolytica prevalen di seluruh dunia, fokus
endemik terutama lazim di daerah tropis dan daerah dengan standar sosioekonomi
dan kebersihan rendah. E. histolytica menyebabkan infeksi pada lumen
saluran pencernaan tanpa atau sedikit menimbulkan sekuele penyakit pada
kebanyakan subyek yang terinfeksi. Pada sebagian kecil individu, organisme
menginvasi mukosa usus atau menyebar ke organ lain, terutama hati.
Amoebiasis
adalah infeksi parasit yang disebabkan oleh Entamoeba
histolytica dan disebut sebagai penyakit bawaan makanan (Food Borne
Disease). Amoebiasis merupakan penyebab
ketiga kematian akibat infeksi parasit di dunia setelah malaria dan
skistomiasis. Pada dasar global, amoebiasis mengenai 50 juta orang per tahun,
dan menyebabkan hampir 100,000 kematian. Menurut estimasi sekitar 48 juta
individu menderita amoebiasis di seluruh dunia.
B.
Rumusan
Masalah
Dari
Latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu:
1. Apa Pengertian Amoebiasis?
2. Bagaimana Klasifikasi Amoebiasis?
3. Bagaimana cara Invasi Jaringan oleh Entamoeba
histolytica?
4. Bagaimana cara Diagnosis penyakit Amoebiasis?
5. Bagaimana cara Pengobatan penyakit Amoebiasis?
6. Bagaimana Epidemiologi penyakit
Amoebiasis?
7. Bagaimana cara Pencegahan penyakit Amoebiasis?
C.
Tujuan
Tujuan
penulisan makalah ini, yaitu:
1. Untuk Mengetahui Pengertian Amoebiasis;
2. Untuk Mengetahui Klasifikasi Amoebiasis;
3. Untuk Mengetahui cara Invasi Jaringan oleh Entamoeba histolytica;
4. Untuk Mengetahui cara Diagnosis penyakit Amoebiasis;
5. Untuk Mengetahui cara Pengobatan penyakit Amoebiasis;
6. Untuk Mengetahui Epidemiologi
penyakit Amoebiasis;
7. Untuk Mengetahui cara Pencegahan penyakit Amoebiasis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Amoebiasis
Amoebiasis
merupakan infeksi yang disebabkan oleh amoeba, yaitu Entamoeba histolytica, namun juga amoebiasis merujuk kepada infeksi
dengan amoeba lainnya. Amoebiasis dapat dilakukan oleh amoeba yang parasit
maupun amoeba yang hidup secara bebas.
Entamoeba histolytica adalah suatu parasit yang sering ditemukan dalam usus besar manusia,
primata tingkat tinggi tertentu, dan beberapa binatang jinak rumahan dan
komensal. Sebagian besar kasus asimptomatik kecuali pada manusia atau di antara
binatang yang hidup dalam keadaan tertekan atau dalam keadaan yang tidak
alamiah (misalnya primata di kebun binatang).
B.
Klasifikasi
Amoebiasis
1. Amoebiasis intestinal
Klasifikasi
amoebiasis menurut WHO (1968) dibagi dalam asimtomatik dan simptomatik,
sedang yang termasuk amoebiasis simptomatik yaitu amoebiasis intestinal yaitu
disentri, non-disentri colitis, amoebic appendicitaske orang lain oleh
pengandung kista Entamoeba histolytica
yang mempunyai gejala klinik (simptomatik) maupun yang tidak (asimptomatik).
Amoebiasis
intestinal atau disebut juga sebagai amoebiasis primer terjadi pertama di daerah
caecum, appendix, kolon ascenden dan berkembang ke kolon lainnya. Bila sejumlah
parasit ini menyerang mukosa akan menimbulkan ulkus (borok), yang mempercepat
kerusakan mukosa. Lapisan muskularis usus biasanya lebih tahan. Biasanya lesi
aka nterhenti di daerah membran basal dari muskularis mukosa dan kemudian
terjadi erosi lateral dan berkembang menjadi nekrosis. Jaringan tersebut akan
cepat sembuh bila parasit tersebut dihancurkan (mati). Pada lesi awal biasanya
tidak terjadi komplikasi dengan bakteri. Pada lesi yang lama (kronis) akan
diikuti infeksi sekunder oleh bakteri dan dapat merusak muskularis mukosa,
infiltrasi ke sub-mukosa dan bahkan berpenetrasi ke lapisan muskularis dan
serosa.
Amoebiasis
intestinal bergantung pada resistensi hospesnya sendiri, virulrnsi dari strain amoeba,
kondisi dari lumen usus atau dinding usus, yaitu keadaan flora usus,
infek/tidaknya dinding usus, kondisi makanan, apabila makanan banyak mengandung
karbohidrat, maka amoeba tersebut lebih patogen.
Ameboma
adalah sebuah fokus nodular dari radang proliferatif atau menyerupai tumor yang
berisi jaringan granulasi yang berasal dari kolon kadang berkembang pada
amoebiasis yang kronis, biasanya pada dinding dari kolon dengan lokasi
tersering terdapat dalam sekum, tapi bisa pada semua tempat di kolon dan rektum.
Pada pemeriksaan barium enema, ameboma dapat berupa lesi polipoid, dapat
dikelirukan dengan karsinoma kolon. Adanya ulkus pada mukosa usus dapat
diketahui dengan sigmoidoskopi pada 25% kasus. Ulkus tersebar, terpisah satu
sama lain oleh mukosa usus yang normal, ukurannya bervariasi dari 2-3 mm sampai
2-3 cm.
Amoebiasis
intestinal terdiri atas 2, yaitu:
a. Amoebiasis Kolon Akut
Gejala
klinis yang biasa ditemukan adalah nyeri perut dan diare yang dapat berupa
tinja cair, tinja berlendir atau tinja berdarah. Frekuensi diare dapat mencapai
10 x perhari. Demam dapat ditemukan pada sepertiga penderita. Pasien terkadang
tidak nafsu makan sehingga berat badannya dapat menurun. Pada stadium akut
ditinja dapat ditemukan darah, dengan sedikit leukosit serta stadium trofozoit E.histolytica.
Diare
yang disebabkan E.histolytica secara
klinis susah dibedakan dengan diare yang
disebabkan bakteri (Shigella, Salmonella,
Escherichia coli, Campylobacter) yang sering ditemukan di daerah tropik.
Selain itu juga harsu dibedakan dengan non
infectious diare seperti ischemic
colitis, inflammatory bowel disease, diverculitis, karena pada amoebiasis
intestinalis penderita biasanya tidak demam.
b. Amoebiasis Kolon Menahun
Amoebiasis
kolon menahun mempunyai gejala yang tidak begitu jelas. Biasanya terdapat
gejala usus yang ringan, antara lain rasa tidak enak diperut, diare yang
diselingi obstipasi (sembelit). Gejala tersebut dapat diikuti oleh reaktivasi
gejala akut secara periodik. Dasar penyakit ialah radang usus besar dengan
ulkus menggaung, disebut juga kolitis ulserosa amebik.
Pada
pemeriksaan tinja segar, stadium trofozoit E.histolytica
sulit ditemukan, karena sebagian besar parasit sudah masuk ke jaringan usus.
Karena itu dilakukan uji serologi untuk menemukan zat anti amoeba atau antigen E.histolytica. Sensitivitas uji serologi
zat mencapai 75%, sedangkan deteksi antigen mencapai 90% untuk mendiagnosis amoebiasis
menahun. Pemeriksaan biopsi kolon hasilnya sangat bervariasi, dapat ditemukan
penebalan mukosa yang non-spesifik tanpa
atau dengan ulkus, ulserasi fokal dengan atau tanpa E.histolytica, ulkus klasik yang berebntuk seperti botol (flaskshaped
appeareance), nekrosis dan perforasi dinding usus.
Predileksi
terutama di daerah apendiks atau sekum, jarang sekali ditemukan di sigmoid.
Komplikasi amoebiasis intestinal dapat berupa acute necrotizing colitis, toxic megacolon, ameboma, amoebiasis
kutis dan ulkus perianal yang dapat membentuk fistula. Penderita dengan acute necrotizing colitis sangat jarang
ditemukan tetapi angka kematin mencapai 50%. Penderita terlihat sakit berat,
demam, diare dengan lendir dan darah, nyeri perut dengan tanda iritasi
peritoneum. Bila terjadi perforasi usus atau pemberian anti amoeba tidak
memperlihatkan hasil, lakukan tindakan bedah.
Toxic megacolon juga sangat jarang ditemukan, biasanya berhubungan dengan
penggunaan kortikosteroid. Penderita memerlukan tindakan bedah, karena biasanya
pemberian anti amoeba saja tidak memperlihatkan perbaikan. Ameboma berasal dari
pembentukan jaringan granulasi kolon yang berbentuk seperti cincin (annnuler),
dapat tunggal atau multipel. Biasanya ditemukan di sekum atau kolon asenden.
Gambaran histologi menunjukkan jaringan kolagen dan fibroblas dengan tanda
peradangan menahun disertai granulasi. Ameboma ini menyerupai karsinoma kolon. Amoebiasis
kolon bila tidak diobatiakan menjalar keluar dari usus dan menyebabkan amoebiasis
ekstra-intestinal. Hal ini dapat terjadi secara hematogen (melalui aliran
darah), atau perkontinuitatum (secara langsung). Cara hematogen terjadi bila amoeba
telah masuk submukosa kemudian ke kapiler darah, dibawah oleh aliran darah
melalui vena porta ke hati dan menimbulkan abses hati.
2. Amoebiasis Ekstra-intestinal
Abses
hati merupakan manifestasi ekstra-intestinal yang paling sering ditemukan.
Sebagian besar penderita memperlihatkan gejala dalam waktu yang relatif singkat
(2-4 minggu). Penderita memperlihatkan gejala demam, batuk dan nyeri perut
kuadran kanan atas. Bila permukaan diafragma hati terinfeksi, maka pada
penderita dapat ternjadi nyeri pleura kanan atau nyeri yang menjalar sampai
bahu kanan. Pada 10%-35% penderita dapat ditemukan gangguan gastrointestinal
berupa mual, muntah, kejang otot perut, perut kembung, diare, dan konstipasi.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hepatomegali. Pada fase sub-akut dapat
ditemukan penurunan berat badan, demam dan nyeri abdomen yang difus. Abses hati
lebih banyak ditemukan pada orang dewasa dibandingkan anak – anak. Kebanyakan
abses terbentuk di lobus kanan hati, biasanya soliter. Abses berisi nanah yang
berwarnah coklat.
Pada
pemeriksaan tinja, E.histolytica
hanya ditemukan pada sebagian kecil penderita abses hati. Dapat ditemukan
leukositosis dan peningkatan serum alkali fostafase pada pemeriksaan darah.
Komplikasi abses hati dapat berupa penjalaran secara langsung ke pleura
dan/atau perikardium, abses otak dan amoebiasis urogenitalis. Cara
perkontinuinatum terjadi bila abses hati tidak diobati sehingga abses pecah. Amoeba
yang keluar dapat menembus diafragma, masuk ke rongga pleura dan paru,
menimbulkan abses paru. Abses hati dapat juga pecah ke dalam rongga perut dan
menyebabkan peritonitis atau pecah ke dalam dinding perut, menembus dinding
perut samapi ke kulit dan menimbulkan amoebiasis kulit dinding perut. Amoebiasis
rektum bila tidak diobati dapat menyebar ke kulit di sekitar anus menyebabkan amoebiasis
perianal, dapat juga menyebar ke perineum, menyebabkan amoebiasis perineal atau
ke vagina menyebabkan amoebiasis vagina. Di kulit dan vagina amoeba ini
menimbulkan ulkus.
C.
Invasi
Jaringan oleh Entamoeba histolytica
Ditemukan
tiga stadium pada Entamoeba histolytica,
yaitu amoeba aktif, kista tidak aktif, dan prekista intermedia. Trofozoit
ameboid adalah satu-satunya bentuk yang ada dalam jaringan. Bentuk tersebut
juga ditemukan dalam feses cair selama disentri amoeba. Ukurannya 15 – 30 µm.
Sitoplasma granuler dan dapat mengandung sel-sel darah merah (patognomonik)
tetapi biasanya tidak mengandung kuman. Pewarnaan besi-hematoksilin atau
trikhrom Gomori menunjukkan selaput inti yang dibatasi oleh granula khromatin
reguler, halus, membentuk jala-jala yang nyata sekitar perifer, kariosom
sentral, kecil, berwarna gelap. Pergerakan trofozoit dalam bahan segar relatif
cepat dan biasanya tidak searah. Pseudopodia seperti jari-jari dan lebar,
reaksinya tidak ada pada suhu rendah atau pada amoeba prekista.
Entamoeba histolytica memiliki siklus hidup dengan dua tahap, yaitu tahap trofozoit dan
kista. Pada tahap trofozoit, amoeba tidak bisa bertahan hidup mandiri,
sedangkan pada tahap kista amoeba bersifat sangat menular dan kuat, hidup di
Lingkungan yang ekstrim. Entamoeba histolytica
ditularkan melalui rute fecal–oral. Periode inkubasi terjadi mulai dari
hitungan hari sampai tahun (durasi rata-rata 2–4 minggu). Mayoritas mereka terinfeksi 90% adalah
pembawa simtomatik, dan Entamoeba
histolytica berada dalam saluran usus dalam simbiosis dengan host. Infeksi
dimulai dari tertelannya kista dalam makanan dan minumanyang terkontaminasi
tinja. Kista yang tertelan mengeluarkan trofozoit dalam usus besar dan memasuki
submukosa. Bentuk kista biasanya sferis, berukuran10-18 µm. Kista yang matang
berisi 2 inti yang akan membelah menjadi 4 intiyang kecil. Selama proses
pematangan vakuola glikogen akan dikeluarkan dan benda kromatoid menjadi
makin kabur dan akhirnya menghilang. Kista sangat tahan terhadap bahan kimia
tertentu. Kista bisa tetap hidup dan infektif dalamkondisi lembab sedangkan
dalam feses yang mengering dapat bertahan sampai12 hari dan dalam air selama 30
hari.
Kista
tahan terhadap kadar klorin biasanya digunakan untuk pemurnian air. Kista
resisten terhadap keadaan lingkungan seperti suhu rendah dan kadar klorin
yang biasa digunakan pada pemurniaan air, parasit dapat dibunuhdengan pemanasan
55°C. Bila air minum atau makanan terkontaminasi oleh kista Entamoeba histolytica, kista akan masuk
melalui saluran pencernaan menuju ileum dan terjadi excystasi, dinding kista
robek dan keluar amoeba multinucleus metacystic yang langsung membelah
diri menjadi 8 uninucleat trofozoit muda yang disebut amoebulae. Amoebulae bergerak
ke usus besar, makan dan tumbuh dan membelah diri asexual.
Multiplikasi
(perbanyakan diri) dari spesies ini terjadi dua kali dalam masa hidupnya yaitu
membelah diri dengan binary fission dalam usus pada fase trofozoit dan
pembelahan nukleus yang diikuti dengan cytokinesis dalam kista pada fase
metacystic. Pada fase trofozoit Entamoeba
histolytica mempunyai diameter rata-rata 20 µm, sitoplasmanya terdiri atas
zona luar yang jernih dan endoplasma dalam yang granuler padat, mengandung
inti yang berbentuk sferis yang mempunyai kariosom sentral yang kecil dan
bahankromatin granuler yang halus. Endoplasma juga berisi vakuola,
dimanaeritrosit dapat ditemukan pada kasus amoebiasis invasif menyusup
masuk kedalam mukosa usus besar diantara sel epitel sambil mensekresi
enzim proteolytik.
Didalam
dinding usus trofozoit terbawa aliran darah menuju hati, paru, otak dan organ
lain. Hati adalah organ yang paling sering diserang selain usus. Di dalam hati
trofozoit memakan sel parenkim hati sehingga menyebabkan kerusakan hati.
Trofozoit dalam intestinal akan berubah bentuk menjadi precystic.
Bentuknya akan mengecil dan berbentuk spheric dengan ukuran 3,5-20 µm. Bentuk
kista yang matang mengandung chromatoidu ntuk menyimpan unsur nutrisi glikogen
yang digunakan sebagai sumber energi. Kista ini adalah bentuk inaktif yang
akan keluar melalui feses. Para trofozoit metacystic dari progeni mereka
mencapai sektum dan mereka yangdatang dalam kontak dengan mukosa oral menembus
atau menyerang epitel oleh pencernaan litik.
Liang
trofozoit lebih dalam dengan kecenderungan untuk menyebar lateral atau
meneruskan kematian sel sampai mereka mencapai sub-mukosa borok
membentuk-bentuk flash. Ada beberapa titik penetrasi dari situs utama invasi,
lesi sekunder mungkin dihasilkan pada tingkat yang lebih rendah dariusus besar.
Progeni dari koloni awal yang diperas keluar ke bagian bawahusus dan dengan
demikian, memiliki kesempatan untuk menyerang danmenghasilkan bisul (borok)
tambahan. Akhirnya, seluruh usus besar terlibat.
Trofozoit
yang mencapai muskularis sering mukosa mengikis limfatik atau dinding venula
mesenterika di lantai borok, dan dibawa ke vena portalintrahepatik. Jika trombi
terjadi di cabang-cabang kecil dari vena portal, yang trofozoit dalam nekrosis
menyebabkan trombi litik di dinding kapal danmencerna jalur ke lobules.
Peningkatan koloni dalam ukuran dan berkembang menjadi abses. Suatu abses
hati khas mengembangkan dan terdiri dari: Central zona nekrosis, zona Median
hanya stoma, Sebuah zona luar dari jaringan normal yang baru saja diserang
oleh amoeba.
Enkistasi,
yaitu proses secara alami perubahan tropozoit menjadi bentuk kista
tidak terjadi di dalam jaringan. Tropozoit yang ada di dalam lumen kolon
akan berkondensasi menjadi benda berbentuk sferis, yakni prekista yang
kemudian dindingnya relatif tipis dan halus dilepaskan sehingga terjadilah
kista muda. Pada stadium ini terdapat dua macam inklusi pada kista muda dan
kista matang, yaitu inklusi glikogen dengan tepi yang samar-samar dan bahan
yang refraktil, disebut kromatoid, yaitu benda yang dapat berbentuk batang
panjangatau dapat juga pendek, biasanya dengan ujung bundar.
Ekskistasi,
yaitu proses ini tidak dapat terjadi secara in-vitro, kecuali bila dalam
suasana yang hampir mendekati keadaan dalam saluran cerna. Begitu kista masuk
dalam mulut, akan terus masuk ke dalam lambung lalu usus kecil. Dalam
lingkungan asam, kista tidak akan berubah tetapi bila lingkungan menjadi netral
atau basa, amoeba akan menjadi aktif. Juga karena pengaruh cairan lambung maka
dinding kista menjadi lemah dan amoeba dengan banyak intinya menjadi pusat
metakista tropozoit.
Dalam
lingkungan yang tidak cocok untuk ekskistasi yaitu keluar didalam usus kecil,
kista akan dibawa ke usus besar dan kemudian dikeluarkan bersama tinja
tanpa mengalami ekskistasi. Metakista tropozoit tidak akan berkembang biak dan
menempel pada mukosa usus atau tersangkut di dalam kelenjar yang terdapat di
dalam kripta usus. Bila amoeba muda mulai tumbuh, mereka akan menjadi tropozoit
yang normal dan lengkaplah siklus perkembangannya.
D.
Diagnosis
Ditemukan
Entamoeba histolytica dalam tinja disentrik,
biopsi dinding abses. Pemeriksaan serologis dapat menunjang diagnosis.
Diagnosis terutama dilihat dari gejala klinis dan reaksi tes imunologi.
Pemeriksaan dengan sinar x dapat mendiagnosis adanya abses dalam hati.
Pemeriksaan sampel feses cukup baik dilakukan untuk mendiagnosis infeksi
dalam usus. Pemeriksaan beberapa kali terhadap feses pasien untuk menemukan
trofozoit cukup baik dilakukan. Diagnosis secara imunologik cukup baik
hasilnya. Penggunaan teknik fluoerscens antibodi cukup baik tetapi tidak dapat
membedakan antara E.histolytica
dengan E.hartmanni.
Diagnosis
yang akurat merupakan hal yang sangat penting, karena 90% penderita asimtomatik
E.histolytica dapat menjadi sumber
infeksi bagi sekitarnya.
1. Pemeriksaan Mikroskopik
Pemeriksaan
mikroskopik tidak dapat membedakan E.histolytica
dengan E.dispar. Selain itu
pemeriksaan berdasarkan satu kali pemeriksaan tinja sangat tidak sensitif.
Sehingga pemeriksaan mikroskopik sebaiknya dilakukan paling sedikit 3 kali
dalam waktu 1 minggu baik untuk kasus akut maupun kronik. Adanya sel darah
merah dalam sitoplasma E.histolytica
stadium trofozoit merupakan indikasi terjadinya invasif amoebiasis yang hanya
disebabkan oleh E.histolytica.
Selain
itu, motilitas stadium trofozoit akan menghilang dalam waktu 20 – 30 menit.
Karena itu bila tidak segera diperiksa, sebaiknya tinja disimpan dalam pengawet
polyvinil alcohol (pva) atau pada
suhu 4 °C. Dalam hal yang terakhir, stadium trofozoit dapat terlihat aktif
sampai 4 jam. Selain itu pada sediaan basah dapat ditemukan sel darah merah.
Hal yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan mikroskopik adalah keterlambatan
waktu pemeriksaan, jumlah tinja yang tidak mencukupi, wadah tinja yang
terkontaminasi urin dan air, penggunaan antibiotik (tetrasiklin, sulfonamid),
laksatif, antasid, preoarat antidiare (kaolin, bismuth), frekuensi pemeriksaan
dan tinja diberi pengawet.
2. Pemeriksaan Serologi untuk Mendeteksi Antibodi
Sebagian
besar orang yang tinggal di bagian endemis E.histolytica
akan terpapar parasit berulang kali. Kelompok tersebut sebagian besar akan asimtomatik dan pemeriksaan antibodi sulit
membedakan antara current atau previous injections.
Pemeriksaan
antibodi akan sangat membantu menegakkan diagnosis pada kelompok yang tidak
tinggal di daerah endemis. Sebanyak 75-80% penderita dengan gejala yang
disebabkan E.histolytica
memperlihatkan hasil yang positif pada uji serologi antibodi terhadap E.histolytica. Hal ini dapat dilakukan
dengan berbagai macam uji serologi seperti IHA, lateks aglutinasi, counterimmunoelectrophoresis, gel diffusion
test, uji komplemen, dan ELISA. Biasanya merupakan uji standar adalah IHA,
sedangkan ELISA merupakan alternatif karena lebih cepat, sederhana dan juga
lebih sensitif. Antibodi IgG terhadap antigen lektin dapat dideteksi dalam
waktu 1 minggu setelah timbul gejala klinis baik pada penderita kolitis maupun
abses hati amoeba. Bila hasilnya meragukan, uji serologi tersebut dapat
diulang. Walaupun demikian, hasil pemeriksaan tidak dapat membedakan current infection dari previous infection. IgM anti-lektin
terutama dapat dideteksi pada minggu pertama sampai minggu ketiga pada seorang
penderita kolitis amoeba.
Titer
antibodi tidak berhubungan dengan beratnya penyakit dan respons terhadap
pengobatan, sehingga walaupun pengobatan yang diberikan berhasil, titer
antibodi tetap tidak berubah. Antibodi yang terbentuk karena infeksi E.histolytica dapat bertahan sampai 6
bulan, bahkan pernah dilaporkan sampai 4 tahun.
3. Deteksi Antigen
Antigen
amoeba yaitu Gal/Gal-Nac lectin dapat
diideteksi dalam tinja, serum, cairan abses, dan air liur penderita. Hal ini
dapat dilakukan terutama menggunakan teknik ELISA, sedangkan dengan teknik CIEP
ternyata sensitivitasnya lebih rendah. Deteksi antigen pada tinja merupakan
teknik yang praktis, sensitif dan spesifik dalam mendiagnosis amoebiasis
intestinalis. Walaupun demikian, tinja yang tidak segar atau yang diberi
pengawet akan menyebabkan denaturasi antigen, sehingga hasil yang false negatif. Oleh karena itu, syarat
melakukan ELISA pada tinja seseorang yang diduga menderita amoebiasis
intestinal adalah tinja segar atau disimpan dalam lemari pendingin. E.histolytica tes II dapat dibedakan
infeksi yang disebabkan oleh E.histolytica
atau E.dispar.
Pada
penderita abses hati amoeba, deteksi antigen dapat dilakukan pada pus abses
atau serumnya.
4. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Metode
PCR mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang sebanding dengan deteksi
antigen pada tinja penderita amoebiasis intestinal. Kekurangannya adalah waktu
yang diperlukan lebih lama, tekniknya lebih sulit dan juga mahal. Untuk
penelitian polimorfisme E.histolytica,
teknik PCR merupakan metode unggulan. Walaupun demikian, hasilnya sangat
dipengaruhi oleh berbagai kontaminasi pada tinja. Selain itu kemungkinan
terjadi false negatif karena berbagai
inhibitor pada tinja. Hal ini dapat dilakukan pada pus penderita dengan abses
hati amoeba. Ekstraksi DNA dapat dilakukan pada tinja yang sudah diberi
pengawet formalin. Dengan cara ini dapat dibedakan infeksi E.histolytica dengan E.dispar.
Sampai
saat ini diagnosis amoebiasis yang invasif biasanya ditetapkan dengan kombinasi
pemeriksaan mikroskopik tinja dan uji serologi. Bila ada indikasi, dapat
dilakukan kolonoskopik dan biopsi pada lesi intestinal atau pada cairan abses.
Parasit biasanya ditemukan pada dasar dinding abses. Berbagai penelitian
memperlihatkan rendahnya sensitivitas pemeriksaan mikroskopik dalam
mendiagnosis amoebiasis intestinal atau abses hati amoeba. Metode deteksi anti
gen atau PCR pada tinja merupakan pilihan yang lebih tepat untuk menegakkan
diagnosis. Walaupun demikian, syarat untuk melakukan uji ini perlu
diperhatikan. Selain itu pemeriksaan mikroskopik tetap dilakukan untuk
menyingkirkan infeksi campuran dengan mikroorganisme lain baik parasit maupun non-parasit.
E.
Pengobatan
Pengobatan
yang diberikan pada penderita amoebiasis yang invasif yang berbeda dengan
non-invasif. Pada penderita amoebiasis non-invasif dapat diberikan paromisin.
Pada penderita amoebiasis invasif terutama diberikan paromomisin. Pada
penderita amoebiasis invasif terutama diberikan golongan nitroimidazol yaitu
metronidazol. Obat lain yang dapat diberikan adalah tinidazol, seknidazol, dan
ornidazol.
Lebih
kurang 90% penderita dengan amoebiasis koli ringan sedang, penyakitnya sembuh
dengan pemberian metronidazol. Pada penderita dengan fulminant colitis, dapat
ditambahkan pemberian nitroimidazol, biasanya sebanyak 40%-60% penderita masih
mengandung parasit, karena itu sebaiknya diikuti dengan pemberian paromomisin
atau diloksanid furoat untuk mengeliminasi infeksi dalam lumen usus . pemberian
metronidazol sebaiknya tidak bersamaan dengan paromomisin, sebab yang terakhir
dapat menyebabkan diare sebagai efek sanping obat,. Pada penderita abses hati amoeba
dapat dilakukan drainase abses selain pemberian obat anti amoeba. Hal ini dapat
dilakukan pada penderita abses hati yang setelah pengobatan 5-7 hari tidak
memperlihatkan perbaikan klinis. Pada penderita dengan risiko tinggi rupture
abses misalnya dengan lesi berdiameter 5 cm atau di lobus kiri pemberian antibiotik
pada penderita abses hati dapat dilakukan bila tidak terjadi penyembuhan setelah
pengobatan dengan anti amoeba.
Obat
amebisid dapat dikelompokkan menjadi 2 katagori yaitu :
1. Obat Yang Bekerja Pada Lumen Usus
Obat yang bekerja pada lumen usus merupakan obat yang tidak diabsorpsi dengan
baik dalam usus, sehingga dapat membunuh stadium trofozoit dan kista yang berada dalam lumen usus.
a. Paromomisin (Humatin)
Paromomisin (humatin) merupakan antibiotik golongan aminoglikosida
yang tidak diabsorpsi dalam lumen usus. Obat tersebut hanya membunuh stadium
yang berada dalam lumen usus. Digunakan untuk mengeliminasi kista setelah
pengobatan dengan metronidazol atau tinidazol. Pemberiannya harus hati-hati
pada penderita dengan kelainan ginjal. Dosisnya adalah 25-35 mg/kgbb/hari,
terbagi dalam 8 jam selama 7 hari. Tidak dianjurkan penggunaan dalam jangka
panjang karena toksik.
b. Diloksanid Furoat (Furamid, Entamizol)
Diloksanid Furoat (Furamid, Entamizol) merupakan obat pilihan untuk E.histolytica yang berada dalam lumen.
Efek samping yang sering ditemukan adalah kembung. Mual, muntah dan diare
kadang-kadang dilaporkan. Dosisnya 3 kali 500 mg perhari selama 10 hari.
c. Iodoquinol (Iodoksin)
Iodoquinol (Iodoksin) termasuk golongan hdroksikuinolin. Tidak boleh
diberikan pada penderita dengan gangguan fungsi ginal. Dosisnya 3 kali 650 mg
perhari selama 20 hari merupakan amebisid luminal yang bekerja dilumen. Dapat
digunakan untuk stadium kista setelah pemberian nitroimidazol.
2. Obat Yang Bekerja Pada Jaringan
a. Emetin Hidroklorida
Obat ini berkhasiat terhadap stadium trofozoit E.histolytica. pemberian emetin ini
efektif bila diberikan secara parenteral, karena pada pemberian oral
absorpsinya tidak sempurna. Dapat diberiakan melalui suntikan intramuscular
atau subkutis setiap hari selama 10 hari. Pemberian secara intervena
toksisitasnya relative tinggi, terutama terhadap otot jantung. Dosis maksimum
untuk orang dewasa adalah 65 mg sehari, sedangkan untuk anak di bawah 8 tahun
10 mg sehari. Lama pengobatan 4 sampai 6 hari. Pada orang tua dan orang yang
sakit berat, dosis harus dikurangi. Pemberian emetin tidak dianjurakn pada ibu
hamil, penderita dengan gangguan jantung dan ginjal.
Dehidroemetin relative kurang toksik
dibandingkan dengan emetin dan dapat diberikan secara oral. Dosisnya maksimum
adalah 0,1 gram sehari, diberikan selama 4 sampai 6 hari. Emetin dan
dehidroemetin efektif untuk pengobatan abses hati (amoebiasis hati).
b. Metronidazol (Golongan Nitromidazol)
Metronidazol merupakan obat pilihan untuk amoebiasis
koli atau abses hati amoeba, karena efektif terhadap stadium trofozoit dalam
dinding usus dan jaringan. Obat ini tidak dapat membunuh stadium kista. Efek
sampingnya antara lain mual, muntah dan pusing. Pada infeksi E.histolytica di lumen usus, hanya 50%
parasit mati dengan obat metronidazol atau tinidazol dengan diloksanid furoat
ditambah paromomisin atau tetrasiklin. Smapai saat ini belum dilaporkan
resistensi E.histolytica terhadap
metronidazol. Tinidazol atau ornidazol dengan dosis yang berbeda. Dosis
metronidazol untuk orang dewasa adalah 3x750 mg/hari 7-10 hari. Pada ibu hamil
hindari pemakaiannya pada trimester 1.
c. Klorokuin
Klorokuin
merupakan amebisid jaringan yang
efektif terhadap amoebiasis hati. Efek samping dan toksisitasnya ringan, antara
lain mual, muntah, diare, sakit kepala. Dosisnya untuk orang dewasa adalah 1
gram sehari selama 2 hari, kemudian 500 grama selama 2 sampai 3 minggu.
F.
Epidemiologi
Amoebiasis terdapat diseluruh dunia. Prevalensi
tertinggi, terutama di daerah tropic dan subtropik, khususnya dinegara yang
keadaan sanitasi lingkungan dan keadaan sosio ekonominya buruk. Di beberapa
Negara tropis, prevalensi anti-bodi terhadap E.histolytica mencapai 50%. Di
Indonesia, amoebiasis kolon banyak ditemukan dalam keadaan endemic.prevalensi
E.histolytica di berbagai daerah di Indonesia sekitar 10%-18%. Di RRC, mesir,
india dan belanda brkisar 10,1%-11,5% di eropa utara 5-20% di eropa selatan
20%-51% dan ameriaka serikat 4%-21%.di
negara industry amoebiasis terutama pada kelompok homoseksusal, imigran, turis yang berpergian ke daerah
endemis, orang yang tinggal di asrama dan penderita positif HIV.
Penelitian epidemiologi memperlihatkan bahwa
rendahnya status social ekonimi dan kurangnya sanitasi merupakan factor yang
mempengaruhi terjadinya infeksi. Pada kelompok ini, infeksi terjadi pada umur
yang lebih muda. di Meksiko prevalensi ditemukan 11% pada kelompok umur 5-9 tahun sedangkan di
Bangladesh 30% pada kelompok 2-5 tahun.
Frekuensi infeksi E.histolytica diukur dengan jumlah pengandung kista. Perbandingan
berbagai macam amoebiasis di Indonesia adalah sebagai berikut: amoebiasis paru,
kulit dan vagina jarang dan amoebiasis otak lebih jarang lagi dijumpai.
Amoebiasis ditularkan oleh pengandung kista.
Pengandung kista biasanya sehat tetapi ia memegan peranan penting untuk
penyebaran penyakit, karena tinjanya merupakan sumber infeksi. Jadi amoebiasis
tidak ditularkan oleh penderita amoebiasis
akut.
Stadium kista matang adalah bentuk infektif.
Seorang pengandung kista yang menyajikan makanan (food handler) misalnya koki hotel atau pelayanan restoran, bla
hygiene perorangan kurang baik, dapat
merupakan simber infeksi. Bila ia tidak mencuci tangan ndung setelah buang air
besar , maka tangannya akan terkontaminasi dengan tinjanya sendiri yang
mengandung kista, dapat memindahkan kista tersebut ke makanan atau iar minum.
Air
Makanan
Pengandung Kista Orang
Lain
Sayuran
Lalat
Kista dapat hidup lama dalam air (10-14 hari).
Dalam lingkungan yang dingin dan lembab kista dapat hidup selama kurang lebih
dari 12 hari. Kista juga tahan terhadap klor yang terdapat dalam air ledeng dan
kista akan mati pada suhu 50 C atau dalam keadaan kering.
G.
Pencegahan
Pencegahan amoebiasis terutama di tujukan pada
kebersihan perorangan (personal higiene)
dan kebersihan
lingkungan (environmental sanitation).
Kebersihan perorangan antara lain mencuci tangan dengan bersih sesudah buang air besar dan sebelum
makan.
Kebersihan lingkungan meliputi: masak air minum
sampai mendidih sebelum diminum,
mencuci sayuran sampai bersih atau memasaknya sebelum di makan, buang air besar
di jamban, tidak menggunakan tinja manusia untuk pupuk, menutup dengan baik
makanan yang di hidangkan untuk menghidari kontaminasi oleh lalat dan lipas,
membuang sampah di tempat sampah yang tertutup untuk menghindari lalat.
H.
Contoh
Kasus
Laki-laki
35 tahun, Islam, mengeluh panas badan sejak 7 hari, naik turun, menetap sejak 2
hari sebelum masuk rumah sakit. Penderita juga mengeluh nyeri perut kanan atas
dan mual tapi tidak muntah. Makan dan minum berkurang. Buang air besar dan
buang air kecil dalam batas normal.
Dari
pemeriksaan fisik kesadaran compos mentis, keadaan umum baik, tekanan darah
110/90 mmHg, nadi 86x/menit, respirasi 20x/menit, suhu axilla 38°C. Pada
pemeriksaan mata tidak didapatkan anemi dan ikterus. Telinga, hidung, tenggorokan
dalam batas normal, pada leher tidak didapatkan pembesaran leher. Pada
pemeriksaan thoraks didapatkan jantung dan paru dalam batas normal. Pada pemeriksaan
abdomen tidak didapatkan distensi, bising usus normal. Hati tidak teraba, tepi tajam,
permukaan rata, konsistensi kenyal, didapatkan nyeri tekan. Limpa tidak teraba,
perkusi traube space timpani. Ekstremitas hangat, tidak didapatkan kelainan.
Dari
hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hitung leukosit 19,6 x 103/mm,
hitung eritrosit 4,02 x 106/mm3, hemoglobin 12,2 mg/dL, hematokrit 35,9%, MCV 89,3 fL, MCH
30,3 pg, MCHC 34,0 g/dL, trombosit 459 x 103/mm3.
Hasil
pemeriksaan ultrasonografi (USG) abdomen menunjukkan gambaran abses hati dengan
diameter 4,2 cm x 5,8 cm. Penderita didiagnosis dengan abses hati, diberikan terapi
metronidazol 4 x 500 mg. Karena keluhan tidak berkurang, dilakukan punksi abses
dan didapatkan cairan abses berwarna coklat kemerahan sebanyak 25 cc. Penderita
didiagnosis akhir dengan abses hati amoeba.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Amoebiasis
merupakan infeksi yang disebabkan oleh amoeba, yaitu Entamoeba histolytica. Entamoeba
histolytica adalah suatu parasit yang sering ditemukan dalam usus besar
manusia, primata tingkat tinggi tertentu, dan beberapa binatang jinak rumahan
dan komensal.
Proses
invasi jaringan oleh Entamoeba histolytica dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Enkistasi, yaitu secara alami perubahan tropozoit menjadi bentuk kista tidak
terjadi di dalam jaringan. Pada stadium ini terdapat dua macam inklusi pada
kista muda dan kista matang, yaitu inklusi glikogen dengan tepi yang
samar-samar dan bahan yang refraktil, disebut kromatoid.
2. Ekskistasi, yaitu proses ini tidak dapat terjadi secara in-vitro,
kecuali bila dalam suasana yang hampir mendekati keadaan dalam saluran cerna. Kista
yang masuk dalam mulut, akan terus masuk ke dalam lambung lalu usus kecil.
Dalam lingkungan asam, kista tidak akan berubah tetapi bila lingkungan menjadi
netral atau basa, amuba akan menjadi aktif.
Sampai
saat ini diagnosis amoebiasis yang invasif biasanya ditetapkan dengan kombinasi
pemeriksaan mikroskopik tinja dan uji serologi. Bila ada indikasi, dapat
dilakukan kolonoskopik dan biopsi pada lesi intestinal atau pada cairan abses.
Parasit biasanya ditemukan pada dasar dinding abses.
Pengobatan
yang diberikan pada penderita amoebiasis yang invasif yang berbeda dengan non-invasif.
Pada penderita amoebiasis non-invasif dapat diberikan paromisin. Pada penderita
amebiasi invasif terutama diberikan paromomisin. Pada penderita amoebiasis
invasif terutama diberikan golongan nitroimidazol yaitu metronidazol. Obat lain
yang dapat diberikan adalah tinidazol, seknidazol, dan ornidazol.
Amoebiasis terdapat diseluruh dunia. Prevalensi
tertinggi, terutama di daerah tropic dan subtropik, khususnya dinegara yang
keadaan sanitasi lingkungan dan keadaan sosio ekonominya buruk. Di beberapa
Negara tropis, prevalensi anti-bodi terhadap E.histolytica mencapai 50%.
Pencegahan amoebiasis terutama di tujukan pada
kebersihan perorangan (personal higiene)
dan kebersihan
lingkungan (environmental sanitation).
B.
Saran
Dengan
adanya makalah ini kami berharap kepada mahasiwa agar dapat lebih memahami
tentang amoebiasis. Serta melihat kemungkinan besar yang terjadinya amoebiasis di
daerah-daerah tropis, termasuk Indonesia, maka penting untuk meningkatkan usaha
pengendalian amoebiasis. Salah satunya yaitu dengan cara menjaga kebersihan
diri, kebersihan lingkungan, salinitas, makanan dan tempat tinggal.
DAFTAR
PUSTAKA
Staf
Pengajar Departemen Parasitologi FKUI. 2008. “Parasitologi Kedokteran”. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Jawetz,
E. dkk. 1986. “Mirobiologi”. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jawetz,
E. dkk. 2004. “Mikrobiologi Kedokteran”.
Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.
0 Response to "Makalah AMOEBIASIS"
Post a Comment