BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Indonesia sangat riskan polemic –
polemic yang terjadi di masyarakat, terutama di lingkup Kesehatan Masyarakat.
Dari berbagai aspek,kesehatan sangatlah penting dalam kehidupan, dan telah
sangat banyak masyarakat yang memahami akan pentingnya kesehatan.Namun hal
tersebut tarpati hanya pada kalangan atas yang memiliki tingkat perekonomian
yang mencuupi,sedang kalangan menegah ke bawah tidak begitu besar kesadaran
personal akan pentingnya kesehatan. Hal itu banyak disebabkan karena tingka
perekonomian yang mencekik beleggu kesadaran tersebut. Sehingga belakangan ini
banyak tersebar berbagai endemic penyakit di Indonesia,misalnya : Difteri.
Difteri merupakan salah satu
penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh
infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi
saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung
dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak
hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang
akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
Infeksi biasanya terdapat pada
faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjugtiva, genitalia dan
telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala -gejala lokal dan sistemik,efeksistemik
terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat
infeksi. Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 5 hari, penularan terjadi melalui
kontak dengan penderita maupun carrier.
Difteri merupakan penyakit yang
harus didiagnosa dan diterapi dengan segera. Bayi baru lahir biasanya membawa
antibody secara pasif dari ibunya yang biasanya akan hilang pada usia 6 bulan,
oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi, yang mana vaksinasi ini
telah terbukti mengurangi insidensi penyakit tersebut. Walaupun difteri sudah
jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang-kadang masih ada yang terkena
oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri banyak terdapat di daerah
berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk dengan angka kematian yang
cukup tinggi, 50% penderita difteri meninggal dengan gagal jantung. Kejadian
luar biasa ini dapat terjadi terutama pada golongan umur rentan yaitu bayi dan
anak. Tapi akhir-akhir ini berkat adanya Program Pengembangan Imunisasi (PPI)
maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis.
Penderita difteri umumnya anak-anak,
usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal,
yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20,
difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak – anak muda.
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi
rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan
dalam menunjang kesehatan kita.
Lingkungan
buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit
difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada
anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang
penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih
rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah adalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian difteri ?
2. Bagaimana Bakteri Corynebacterium
diptheriae berdasarkan pengklasifikasian dan morfologinya ?
3. Bagaimana petogenitas dan patologi
bakteri Corynebacterium diptheriae ?
4. Bagaimana cara penularan bakteri Corynebacterium
diptheriae ?
5. Bagaimana Pemeriksaan Corynebacterium
diptheriae serta pengobatannya ?
6. Bagaimana gejala klinis dari
penyakit difteri yang ditimbulkan oleh bakteri Corynebacterium difteriae?
7. Bagaimana epidemologi, pencegahan, dan pengendalian bakteri Corynebacterium diptheriae ?
8. Bagaimana resistensi dan imunitas
bakteri Corynebacterium diptheriae ?
9. Bagaimana
cara pengambilan bahan pemeriksaan dan pengiriman bakteri Corynebacterium diptheriae ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk
mengetahui pengertian difteri.
2.
Untuk
mengetahui bakteri Corynobacterium
diptheriae berdasarkan pengklasifikasiannya dan morfologinya.
3.
Untuk
mengetahui patogenitas dan patologi bakteri Corynobacterium
diptheriae.
4.
Untuk
mengetahui bagaimana cara penularan bakteri Corynebacterium diptheriae.
5.
Untuk
mengetahui pemeriksaan Corynobacterium
diptheriae serta pencegahan dan
pengobatannya.
6.
Untuk
mengetahui gejala klinis dari penyakit difteri yang ditimbulkan oleh bakteri Corynebacterium difteriae.
7. Bagaimana epidemologi, pencegahan, dan pengendalian bakteri Corynebacterium diptheriae ?
8.
Untuk
mengetahui bagaimana resistensi dan imunitas bakteri Corynebacterium diptheriae.
9.
Untuk mengetahui bagaimana cara pengambilan bahan
pemeriksaan dan pengiriman bakteri Corynebacterium
diptheriae.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Difteri
Difteri adalah suatu penyakit
infeksi toksik akut yang menular, disebabkan oleh corynebacterium diphtheriae
dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa. Difteri
adalah suatu infeksi demam akut, biasanya ditenggorok dan paling sering pada
bulan-bulan dingin pada daerah beriklim sedang. Dengan adanya imunisasi aktif
pada masa anak-anakdini. Difteri adalah
suatu infeksi, akut yang mudah menular dan yang sering diserang adalah saluran
pernafasam bagian atas dengan tanda khas timbulnya “pseudomembran”.
Diferi adalah penyakit akibat
terjangkit bakteri yang bersumber dari corynebacterium diphtheriae (c.
diphtheriae). Penyakit ini menyerang bagian atas murosasaluran pernafasan dan
kulit yang terluka. Tanda-tanda yang dapat dirasakan ialah sakit letak dan
demam secara tiba-tiba disertai tumbuhnya membrane kelabu yang menutupi tansil serta
bagian saluran pernafasan.
Basil gram positif yang tidak
membentuk spora merupakan kelompok berbeda dari bakteri. Banyak anggota genus
corynebacterium dan ekuivalen anerobnya yaitu spesies propioni bacterium,adalah
anggota flora normal kulit dan membrane mukosa manusia.corynebacteriumlain
ditemukan pada hewan dan tanaman. Coryne bacterium difteriae adalah anggota
kelompok basil tersebutyang paling penting,karena dapat menghasilkan eksotoksin
kuat yang menyebabkan difteri pada manusia.
Spesies coryne bacterium dan bakteri
terkait cenderung berbentuk tidak teratur dan seperti gada, meskipun tidak
semua isolatmempunyai bentuk tidak beraturan, namun istilah”bakteri
korineformis”merupakan istilah yang cocok untuk menunjukan kelompokspesies
tersebut.bakteri bakteri tersebut mempunyai kandungan sitosin dan guanosin yang
tinggidan mencakup genus corynebacterium, arcanobacterium, Brevibacterium,
Mycobacrerium, dan lain lain.
Isolat genus corynebacterium yang
sering ditemukan atau secara klinis penting yaitu:
a)
amycolatum
b)
minutissimum
c)
jeikeium
d)
C.
pseudodiphtheritikum
e)
C.
striatum
f)
C.
urealyticum
g)
C.
xerosis
B. Klasifikasi Ilmiah Bakteri Corynebacterium diptheriae dan
Morfologinya
Klasifikasi ilmiah bakteri Corynebacterium
diptheriae yaitu sebagai
berikut :
1.
Kingdom : Bacteria
2.
Filum : Actinobacteria
3.
Ordo : Actinomycetales
4.
Famili : Corynebacteriaceae
5.
Genus : Corynebecterium
6.
Spesies : Corynebacterium diphtheria
7.
Spesies : -Corynebacterium diptheriae gravis
-Corynebacterium diptheriae mitis
-Corynebacterium diptheriae intermedium
Gambar bakteri
Corynebakterium difteriae
Genus Corynebacterium terdiri dari
berbagai kelompok bakteri patogen termasuk pada hewan dan tanaman, serta
saprophytes. Beberapa Corynebacteria merupakan bagian dari flora normal
manusia, terdapay di hampir semua situs anatomi, terutama kulit dan mukosa
hidung.
Morfologi
dan identifikasi Bakteri Corynebacterium diptheriae
Gram (+) batang, panjang/pendek,
besar/kecil, polymorph, tidak berspora, tidak berkapsul, tidak bergerak,
bergranula yang terletak di salah satu atau kedua ujung badan bacteri.
1. Pada pewarnaan menurut Neisser,
tubuh bacteri berwarna kuning atau coklat muda sedangkan granulanya berwarna
biru violet ( meta chromatis ).
2. Preparat yang dibuat langsung dari
specimen yang baru diambil dari pasien, letanya bakteri seperti huruf –
huruf L, V, W, atau tangan yang jarinya terbuka atau sering
di kenal sebagain Susunan sejajar / paralel / palisade / sudut tajam
huruf V, L, Y / tulisan cina
3. Diameter 0,5 – 1 µm dan panjangnya 1
– 8 µm
4. Menggembung pada satu ujungnya
berbentuk gada “club shape”
5. Berisi granula yang tersebar secara
tidak teratur dalam batang(sering dekat tubuh)dan dapat diwarnaidengan bahan
celupan anilin (granula metakromatik) yang memberikan manik manic pada batang.
6. Tidak punya spora Non motil Basil,
Gram positif , pleiomorfik
7. Tidak tahan asam Dinding sel
mengandung asam meso diaminopimelik, arabinosa, galaktosa, asam mikolik
8. Sifat-sifat
Pertumbuhan : korinebakteria tumbuh pada sebagian besar pembenihan
laboraturium. Propionibacterium,
suatu “difteroid” yang anaerob. Pada perbenihan serum loeffer ,korinebakteria
tumbuh jauh lebih mudah daripada kuman pathogen pernapasan lainnya, dan
morfologi organisme adalah khas pada sediaan mikroskopik. Membentuk asam,
tetapi tidak membentuk gas pada beberapa karbohidrat
9. Variasi
dan perubahan : korinebakteria cenderung
menjadi plemorf pada morfologi mikroskopik dan pada morfologi koloni. Variasi
dari bentuk halus menjadi kasar pernah ditemukan. Varian dan strain tojsigenik
sering tidak toksigenik. Bila sedikit kuman difteria tidak toksigenik
diinfeksikan dengan bakteriofga dari kuman difteria tidak toksigenik
diinfeksikan dengan bakteriofaga dari kuman difteria toksigenik tertentu,
turunan dari kuman yang terinfeksi akan bersifat lisogenik dan toksigenik,dan
sifat ini kemudian dapat diturunkan. Bila kuman difteria toksigenik dibiak
berturut-turut pada antiserum spesifik terhadap faga tidak aktif yang ada di
dalam selnya, kuman tersebut cenderung menjadi tidak toksigenik. Jadi
penambahan faga cenderung menimbulkan
toksigenisitas (perubahanlisogenik). Pembuatan toksik sebenarnya mungkin hanya
terjadi bila profaga lisogenik C
diphtheria terinduksi dan melisiskan
sel . sedangkan toksigenitas sikendalikan gen faga< daya invasi dikendalikan
gen kuman.
Pada agar darah, koloni C. difteriae
berbentuk kecil, granular, dan berwarna abu abu, dengan tepi tidak beraturan ,
dan mungkin memiliki zona hemolisis kecil. Pada agar yang mengandung kalium
telurit, koloni berwarna coklat sampai hitamdengan daerah halo berwarna coklat
– hitam karena telurit direduksi secara intraseluler.
Gambar koloni corynebacterium
difteriae pada agar darah
Empat biotipe C.diphtheriae telah
dikenal secara luas yaitu tipe garvis, intermedius, mitis, dan belfanti. Varian
varian tersebut telah di golongkan berdasarkan cirri khas pertumbuhanseperti
morfologi koloni, reaksi biokimia, dan keparahan penyakit yang disebabkan oleh
infeksi. namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan
spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologic
C.diphtheriae. Ciri khas C.diphtheriae
adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro.
Sangat sedikit labolatorium rujukan
yang memberikan karakterisasibiotipe, insiden difteri sangat berkurang dan
hubungan keparan penyakit dengan biovarian tidak penting bagi penanganan
kesehatan klinis dan masyarat terhadap kasus atau keadaan wabah. Jika
diperlukan , pada keadaan wabah, imonukimia dan metode molekuler dapat digunakan untuk menentukan isolat C.diphteriae.
C.diphtheria dan corynebacterium
lain tumbuh secara aerob pada kebanyakan medium labolatorium yang biasa. Coryne
bacterium tumbuh lebih baik dari pada organism pernapasan lain, dan morfologi
organism tersebut terlihat khas pada
apusan.
Corynebacterium
cenderung pleomorfik pada morfologi
mikroskopik dan colonial. Bila beberapa organism difteri nontoksigenik
terinfeksi bakteriofag basil difteri toksigenik tertentu, keturunan bakteri
yang terpajan bersifat lisogenik dan toksigenik ,dan cirri kemudian bersifat
herediter. Bila secara seri disubkultur pada anti serum spesifik terhadap fase
temperate yang dibawanya , basil difteri toksigenik cenderung menjadi tidak toksigenik .Oleh
karena itu , akuisisi faga vmenyebabkan toksigenisitas(konfersi lisogenik ).
Produksi toksin sebenarnya mungkin hanya terjadi bila profaga lisogenik c.
diphteriae menjadi terinduksi dan melisiskan sel .Toksigenisitas dikendalikan
gen faga , sedangkan invasivitas dikendalikan gen bakteri.
C.
Patogenesis dan Patologi bakteri Corynebacterium
diptheriae
Patogenesis
Pathogen
utama manusia pada kelompok ini adalah c.diphteriae. di alam, C.diphteriae
tedapat dalam saluran pernapasan .luka,atau kulit yang terinfeksi atau carrier
normal. Organisme tersebut menyebar melalui droplet atau melalui kontak dengan
orang yang rentan; basil kemudian tumbuh dimembran mukosa atau pada abrasi
kulit . dan basil yang toksigenetik mulai menghasilkan toksin .
Semua C.diphteriae toksigenik mampu
menguraikan eksotoksin yang menimbulkan penyakit yang sama . Produksi in vitro
toksin ini sangat bergantung pada kosentrasi besi . produksa toksin bersifat
optimal pada 0,14 ug besi permiliter medium tetapi sebenarnya mengalami supresi pada 0,5 um/ml.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil toksin in vitro adalah tekanan
osmotic ,kosentrasi asm amino ,pH, dan tersediaannya sumber nitrogen dan karbon
yang sesuai . Faktor-faktor yang mengontrol produksi toksin in vivo belum
dipahami dengan baik .
Toksin
difteriadalah suatu polipeptida yang labil terhadap panas yang dapat bersifat
letal pada dosis 0,1 ug/kg. jika ikatan disulfide dipecah ,molekul dapat dibagi
menjadi dua fragmen .Fragmen Tidak mempunyai aktifitas bebas tetapi diperlukan
untuk transport fragmen A ke dalam sel. Fragmen A menghambat pemanjangan rantai
polipeptida _ membuat nikotinamid adenine dinukleutida (NAD) ada dengan menginektivasi factor elongasi
EF-.Faktor ini diperlukan untuk translokasi RNA polipeptidil dari akseptetor ke
tempat donor pada ribosom eukariotik .Fragmen A TOKSIN menginaktifkan EF-
dengan mengatalisis reaksi yang mengasilkan nikotinamid bebas ditambah kompleks
adenosine difosfsat-ribosa-EF- inaktif . Ada anggapan bawa sistesis protein
yang berhenti mendadak menyebabkan efek-efek nekrotkans dan neurotoksik toksik difteri . Eksotoksin dengan cara kerja
yang sama dapat diasilkan oleh strain pseudomonas aeruginosa.
Patologi
Toksin
dipteri di absorpsi kedalam mukosa dan menyebabkan dekstruksi epitel dan respon
radang superficial. Epitel nekrotikmelekat pada fibrin yang menonjol dan sel
sel darah merah serta putih,sehingga terbentuk “pseudomembran” keabuan
seringnya pada tonsil, faring, atau laring. Setiap usaha untuk mengangkat
pseudomembran akan membuka dan merobek kapiler sehingga menyebabkan timbulnya
perdarahan. Kelenjar getah bening regional di leher membesar, dan terdapat
edema yang jelas di seluruh leher . basil difteri dalam membrane terus
menghasilkan toksin secara aktif. Toksin di absorpsi dan terus menyebabkan
kerusakan toksik di tempat yang jauh, terutama degenerasi parenkimatosa ,
infiltrasi lemak, dan nekrosis pada otot jantung, hati, ginjal, dan adrenal,
kadang kadang di sertai pendarahan makroskopis. Toksin juga menyebabkan
kerusakan saraf , sering mengakibatkan paralisis palatum molle, otot mata, atau ekstremitas.
Difteri
atau luka terutama terjadi di Negara tropis. Membran dapat terbentuk pada luka
infeksi yang gagal sembuh. Absorpsi toksin biasanya ringan dan efek sistemik dapat di abaikan . sejumlah
kecil toksik yang di absorpsi selama infeksi kulit mencetuskan timbulnya
antibody antitoksin “Virulensi” basil difteri disebabkan oleh kapasitasnya dalam menyebabkan infeksi,
pertumbuhan yang cepat , dan kemudian dengan cepat menguraikan toksik yang di absorpsi secara
efektif. C. difteriae perlu bersifat
toksigenik untuk menyebabkan infeksi local- misalnya , di nasofaring atau kulit
tetapi strain non toksigenik tidak menimbulkan efek toksik local atau sistemik. C. diptheriae tidak menginfasi secara aktif jaringan profunda dan hamper tidak masuk ke dalam aliran darah.
D.
Cara Penularan
Bakteri ini ditularkan
melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang
telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri
melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa
menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf
a) Faktor
Perilaku
Kebiasaan
yang dilakukan sehari-hari yang dapat mempengaruhi terjadinya penularan atau
penyebaran penyakit difteri adalah sebagai berikut : tidak menutup mulut bila
batuk atau bersin sehingga mempermudah penularan penyakit pada orang lain,
membuang ludah/dahak tidak pada tempatnya, tidak membuka jendela, mencuci alat
makan dengan bersih, memakai alat makan bergantian.
b) Faktor
Lingkungan
Faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian difteri antara lain meliputi
tingkat kepadatan hunian rumah, sanitasi rumah, serta faktor pencahayaan dan
ventilasi. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi munculnya penyakit seperti
kita ketahui ada lingkungan fisik biologi, social dan ekonomi. Faktor
lingkungan fisik yang meliputi kondisi geografi, udara, musim dan cuaca sangat
mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap jenis penyakit tertentu. Hal ini
berkaitan dengan kebiasaan seseorang dalam adapatasi dengan lingkungannya
tersebut
c) Struktur
antigenic
Telah ditemukan perbedaan serologik
antara tipe dan dalam tiap-tiap tipe C
diptheriae,tetapi tidak tersedia klasifikasi yang memuaskan. Tes-tes serologic
umumnya tidak dipakai pada identifikasi . toksin difteria mengandung paling
sedikit 4 penentu antigenic.
d) Daya
Tahan dan Kekebalan
Karena pada dasarnya penyakit
difteri adalah akibat daya kerja toksin yang akibat daya kerja toksin yang
dibentuk oleh organisme dan bukan karena invasi kuman, resistensi terhadap
penyakit sebagian besar tergantung pada terdapatnya antitoksin netralisasi
spesifik dalam darah dan jaringan. Umumnya benae bahwa difter terdapatnya
amtitoksin atau kurang dari 0,01 Lf satuan/ml. Jadi, pengobatan difteri
sebagian besar tergantung pada penekanan yang cepat pada kuman penghasil toksin
yang dibentuk oleh organisme pada tempat0rtempat masuk dan pembiakan. Terdapat
kekebalan aktif atau kekebalan antitoksin pasif terhadap difteri. Jumlah
antitoksin relative yang dimiliki seseorang saat tertentu dapat diperkirakan
menurut salah satu dari 2 cara:
a) Titrasi
serum untuk Kadar Antitoksin : (terlalu
kompleks untuk pemakaian rutin ). Serum dicampur dengan berbagai jumlah toksin
dan campuran disuntikkan ke dalam binatang yang peka. Makin banyak jumlah
toksin yng dinetralkan ,makin tinggi konsentrasi antitoksin dalam serum
b) Tes
Schick :tes ini berdasarkan kenyataan bahwa toksin difteri sangat menganggu dan
mengakibatkan reaksi local nyata bila disuntikkan intradermal kecuali bila
toksin dinetralkan oleh antitoksin dalam tubuh. Satu dosis tes Schick (jumlah
standar toksin yang bila dicampur dengan 0,001 satuan antitoksin difteri US
Standard dan disuntikkan intradermal pada marmot akan mengakibatkan reaksi
eritama dengan garis tengah 10 mm) disuntikkan ke dalam kulit salah saru lengan
bawah dan toksin yang telah dipanaskan dalam jumlah yang sama disuntikkan
kedalam lengan bawah lainnya sebagai control. (pemanasan selama 15 menit pada
60˚C merusak efek toksin). Tes ini harus dibaca selama 24 dan 48 jam dn sekali
lagi 6 hari . hail –hasil dictatsikan sebagai berikut.:
1) Reaksi
positif (kepekaan terhadap tiksin difteri, yaitu tidak adanya antioksin
netralisasi dalam jumlah cukup ; kurang dari 0,01 Lf satuan/ ml)- toksin
menimbulkan kemerahan dan pembengkakan yang bertambah selama beberapa hari dan
kemudian menghilangkan dengan lambat, meninggalkan daerah berpigmen
kecoklat-coklatan. Tempat control tidak menunjukkan reaksi.
2) Reaksi
negative (antitoksin terdapat dalam jumlah cukup; biasanya salam jumlah yang
lebih banyak dari 0,02 Lf satuan/ ml serum)-tidak ada tempat suntikan yang
menunjukkan reaksi.
3)
Pseodoreaksi-reaksi tes schick dapat
dipersulit oleh bahan-bahan hipersensitivitas yang bukan toksin yang terdapat
dalam suntikan.pseudoreaksi menunjukkan kemerahan dan pembengkakan pada kedua
lengan yang menghilang serentak pada hari kedua atau ketiga. Pseudoreaksi
merupakan reaksi negative.
Rekasi gabungan –reaksi gabungan di mulai seperti
pseudoreaksi, dengan kemerahan dan pembengkakan pada kedua tempat suntikan;
toksin kemudian terus menunjukkan efeknya, akan tetapi, reaksi pada tempat
control menghilang depan cepat. Ini menunjukkan hipersensitivitas serta
kepekaan relative terhadap toksin
E.
Pemeriksaan
dan Pengobatan
Pemeriksaan uji labolatorium diagnostic
Uji labolatorium ini berfungsi untuk menegakkan kesan
klinis dan signifikansi epidemiologi. Catatan : pengobatan spesifik jangan
pernah di tunda untuk laporan labolatorium jika gambaran klinis secara kuat
menunjukan difteri.
Apusan dari hidung , tenggorok, atau lesi lain yang
dicurigai harus diperoleh sebelum obat obat anti mikroba dirikan. Apusan di warnai dengan metilen biru alkali
atau pewarnaan gram yang memperlihatkan batang batang bermanik dalam susunan
yang khas.
Inokulasi lempeng agar darah ( untuk menyingkirkan
streptococcus hemolitik), slant lofferler, dan lempeng telurit( misalnya, agar
sistin- telurit atau medium tinslade
dimodifikasi) dan inkubasikan semuanya pada suhu 37 c . kecuali jika
dapat di inokulasi secara tepat, apusan harus dijaga agar tetap lembab dengan
serum kuda steril sehingga basil akan tetap hidup. Dalam 12-18 jam , slant loeffler dapat
menghasilkan organism dengan morfologi” seperti
difteri” yang khas. Dalam 36-48
jam, koloni dalam medium telurit cukup jelas untuk mengenali C. diphteriae.
Isolat C. diphteriae presumtif harus di jadikan subjek
pada pengujian untuk toksigenisitas. Uji uji seperti ini dilakukan hanya di
labolatorium kasehatan masyarakat rujukan.
Terdapat beberapa metode sebagai berikut:
1.
Cakram kertas filter yang
mengandung anti toksin ditempatkan di atas lempeng agar. Biakan yang di uji
untuk memeriksa toksigenisitas di
gores di atas lempeng yang berdekatan dengan diskus. Setelah 48 jam
inkubasi, anti toksin yang berdifusi
dari biakan toksigenik dan menyebabkan pita presipitat antara cakran dan
pertumbuhan bakteri . Uji tersebut adalah metode Elek yang dimodifikasi yang
dideskripsikan oleh unit rujukan Difteri WHO.
2.
Metode terbasis
reaksi rantai polymerase telah dijelaskan untuk deteksi gen toksin difteri .
Uji PCR untuk tox juga dapat digunakan secara lansung pada specimen pasien
sebelum ada hasil biakan. Biakan positif setelah terapi anti biotic bersama dengan uji PCR yang positif
menunjukan bahwa pasien mungkin menderita difteri .
3.
Enzime-linked immunosorbent assay dapat digunakan untuk mendeteksi toksin difteri dari
isolat C. diphteriae klinis.
4.
Suatu uji strip
imunokromografi memungkinkan deteksi toksin difteri dalam beberapa jam.
Berdasarkankan
sejarah, toksigenisitas isolat C.
diphteriae dapat diperlihatkan dengan menyuntikan isolate yang di emulsi
kedalam tubuh dua marmut . jika marmot
yang di lindungi dengan antitoksin difteri dapat bertahan hidup, sedangkan yang
tidak di lindungi mati, isolate di anggap bersifat toksigenik . uji ini sebagian
besar talah di gantikan oleh tehnologi yang lebih baru atau mederen.
Pengobatan
Pengobatan difteri
terletak terutama pada suspense cepat bakteri penghasil toksin oleh obat. obat
antimikroba dan pemberian awal antitoksin spesifik melawan toksin yang dibentuk
oleh organism di tempat masuk dan miltiplikasinya. Antitoksin difteri
dihasilkan oleh berbagai hewan (kuda, domba , kambing, dan kelinci) dengan
injeksi berulang toksoid yang di murnikan dan dikonsentrasikan. Pengobatan
dengan antitoksin merupakan keharusan bila terdapat kecurigaan klinis kuat
terjadi difteri. Dari 20.000 sampai 100.000 unit disuntikan secara
intramuscular atau intravena setelah tindakan pencegahan yang sesuai dilakukan
( uji kulit atau konjungtuva) untuk menyingkirkan hipersensivitas terhadap
serum hawan. Antioksidan sebaiknya diberikan
pada hari diagnosis klinis difteri
dibuat dan tidak perlu di ulang.
Suntikan intramuscular dapt digunakan pada kasus ringan.
Obat- obat
antimikroba ( penisilin, eritromisin) menghambat pertumbuhan basil difteri.
Meskipun sebenarnyatidak mempunyai efek yang nyata terhadap proses penyaki,
obat- obat ini menghentikan produksi toksin. Obat- obat tersebut juga membantu
mengeliminasi streptococcus yang muncul bersama penyakit dan C. diptheriae dari saluran pernapasan
pasien atau carrier penyakit. Obat-obat
antijasad renik (penislin, eritronisin) menghambat pertumbuhan basil difteri.
Walaupun obat-obat ini sebenarnya tidak mempunyai efek pada proses penyakitnya,
obat-obat ini menghentikan pembentukan toksin. Obat –obat ini jyga membantu
menghilangkan adanya streptokok dan C diphtheria dari saluran pernapasan
penderita atau pembawa kuman.
Pemberian antibiotika (tetrasilin)
dapat menghambat kerja lipolitik difteroid anaerobic propioni.
F.
Temuan Klinis
Tergantung pada berbagai faktor,
maka manifestasi penyakit ini bias bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu
keadaan / penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai factor primer adalah
imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenitas C.
diphtheriae ( kemampuan kuman membentuk toksin), dan lokasi penyakit secara
anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit
pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2
hari. Pasien pada umumnya dating untuk berobat setelah beberapa hari menderita
keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9ºC dan keluhan serta gejala lain
tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.
1.
Difteri Saluran Pernapasan
Bila radang difteri terjadi di
saluran pernapasan, bisanya timbul nyeri tenggorokan dan demam. Kelemahan dan dispnea segera terjadi karna
obstruksi yang disebabkan oleh membran. Obstruksi tersebut bahkan dapat menyebabkan
rasa tercekik jika tidak segera dihilangkan dengan intubasi atau trakeostomi .
ketidak teraturan irama jantung menunjukan kerusakan jantung. Kemudian, dapat
terjadi gangguan pada mata , kesulitan bicara, menelan, atau menggerakan langan atau tungkai . semua manifestasi
tersebut cenderung menghilang secara spontan.
Secara umum vas gravi cenderung
menyebabkan penyakit yang lebih berat dari pada vas mitis , tetapi penyakit
yang sama dapat ditimbulkan oleh semua jenis (varian).
2.
Difteri Hidung
Difteria hidung pada awalnya
meneyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala
sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih sering pada bayi) menyebabkan
rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan pembentukan membrane. Ulserasi
dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam adalah khas. Pada pemeriksaan tampak
membrane putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan
gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.
3.
Difteri Tonsil Faring
Pada difteri tonsil dan faring,
nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang umum, tetapi hanya setengah
penderita menderita disfagia, serak, malaise atau nyeri kepala. Dalam 1-2 hari
kemudian timbul membrane yang melekat berwarna putih kelabu, injeksi faring
ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil unilateral atau bilateral,
yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula, palatum molle, orofaring
posterior, hipofaring dan daerah glottis. Edema jaringan lunak dibawahnya dan
pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran “bull neck”. Selanjutnya gejala
tergantung dari derajat peneterasi toksin dan luas membrane. Pada kasus berat,
dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis
palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan
regurgitasi. Stupor, koma, kematian bias terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari.
Pada kasus sedang penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bias disertai
penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membrane akan terlepas
dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
4.
Difteri Laring
Difteri laring biasanya merupakan
perluasan difteri faring. Penderita dengan difteri laring sangat cenderung
tercekik karena edema jaringan lunak dan penyumbatan lepasan epitel pernapasan
tebal dan bekuan nekrotik. Pada difteria faring primer gejala toksik kurang
nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah
dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih
mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious
croups yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau
dan batuk kering. Pada Obstruksi laring yang berat terdapat retraksi
suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membrane
yang menutup jalan nafas biasa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat,
membrane dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring
terjadi sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang tampak
merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.
5.
Difteri Kulit
Difteri kulit berupa tukak dikulit,
tepi jelas dan terdapat membrane pada dasarnya, kelainan cenderung menahun.
Difteri kulit klasik adalah infeksi nonprogresif lamban yang ditandai dengan
ulkus yang tidak menyembuh, superficial, ektimik dengan membrane coklat
keabu-abuan. Infeksi difteri kulit tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo
streptokokus atau stafilokokus, dan mereka biasanya bersama. Pada kebanyakan
kasus, dermatosis yang mendasari, luka goresan, luka bakar atau impetigo yang telah
terkontaminasi sekunder. Tungkai lebih sering terkena dari pada badan atau
kepala. Nyeri, sakit, eritema, dan eksudat khas. Hiperestesi lokal atau
hipestesia tidak lazim. Kolonisasi saluran pernapasan atau infeksi bergejala
dan komplikasi toksik terjadi pada sebagian kecil penderita dengan difteri
kulit.
6.
Difteri Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga
C. diphtheriae kadang-kadang
menimbulkan infeksi mukokutan pada tempat-tempat lain, seperti telinga (otitis
eksterna), mata (konjungtivitis purulenta dan ulseratif), dan saluran genital
(vulvovginitis purulenta dan ulseratif). Wujud klinis, ulserasi, pembentukan
membrane dan perdarahan submukosa membantu membedakan difteri dari penyebab
bakteri dan virus lain.
G.
Epidemologi, Pencegahan, dan Pengendalian
Sebelum
adanya imunisasi buatan, difteri adalah penyakit yang teritama menyerang anak
kecil. Infeksi terjadi secara klinis atau subklinis pada usia dini dan
menyebabkan produksi antitoksin yang menyebar luas dalam populasi. Infeksi
asimtomatik selama masa remaja dan dewasa berperan sebagai stimulus untuk
mempertahankan kadar antitoksin tetap tinggi. Oleh karna itu, kebanyakan
anggota masyarakat, kecuali anak-anak, menjadi imun.
Pada
usia 6-8 tahun , sekitar 75% anak di Negara berkembang tempat sering terjadinya
infeksi kulit oleh C. diptheriae ,
mempunyai kadar antitoksin serum protektif. Absorpsi sejumlah kecil toksin
difteri dari infeksi kulit agaknya memberikan stimulus antigenic untuk respon
imun; jumlah toksin yang diabsorpsi tidak menimbulkan penyakit.
Imunisasi
aktif pada masa kanak- kanak dengan toksoid difteri menghasilkan kadar
antitoksin yang secara umum adekuat sampai remaja. Dewasa muda sebaiknya di
beri boster toksoid , karena basil difteri toksogenik tidak cukup lazim pada
populasi di banyak Negara maju untuk memberikan stimulus infeksi subklinis
dengan stimulus resistensi. Kadar antioksidan menurun seiring waktu, dan banyak orang tua mempunyai jumlah
antitoksin dalam sirkulasi yang tidak cukup untuk melindungi mereka terhadap
difteri.
Tujuan
utama pencegahan adalah membatasi distribusi basil difreri toksigenik pada
populasi dan untuk mempertahankan kadar imunisasi aktif setinggi mungkin. Untuk
membatasi kontak dengan basil difteri sampai minimum, penderita bakteri
sebaiknya di isolasi . tanpa pengobatan, sejumlah besar pasien yang terinfeksi
tetap melepaskan basil difteri selama ber minggu minggu atau bulan setelah
pemulihan (carrier konvalesen). Bahaya ini dapat banyak dikurangi dengan
pengobatan awal yang aktifdengan
Pemberian anti biotic.
Filtrat
biakan kaldu strain toksigenik diberikan formalin 0,3% dan di inkubasi pada
suhu 37 c sampai toksisitas hilang.
Tooksoid cairan tersebut dimurnikan dan distandarisasi dalam satuan flokulan.
(dosis Lf). Toksoid cairan yang disediakan
seperti di atas diabsorpsi kedalam
aluminium hidroksida atau aluminium fosfat. Bahkan tersebut bertahan
lebih lama dalam depot setelah
suntikan dan merupakan anti gen yang
lebih baik toksoid tersebut sering dikombinasikan dengan toksoid tetanus (Td)
dan kadang kadang dengan vaksin pertusis (DPT) sebagai suntikan tunggal untuk
digunakan pada imunisasi awal anak anak. Untuk suntikan ulasan dewasa, hanya
toksoid Td yang digunakan; semua
mengombinasi dosis penuh toksoid tetanus
dengan dosis toksoid difteri sepuluh kali lipat lebih kecil untuk
mengurangi kemungkinan reaksi yang merugikan.
Semua
anak harus menerima imunisasi awal dan ulangan. Ulangan teratur dengan Td
terutama penting untuk orang dewasa yang bepergian kenegara Negara berkembang,
tempat ident difteri klinis 1.000 kali lebih tinggi dari pada dinegara maju,
tempat imunisasi bersifat universal.
H.
Resistensi dan Imunitas
Resistensi
Karena difteri secara prinsip
disebabkan oleh kerja toksin yang di bentuk oleh Organisme bukan karna infasi oleh
organisme , resistensi terhadap penyakit sebagian besar bergantung pada tersedianya anti oksidan
penetrral spesifik dalam aliran darah dan jaringan. Secara umum, benar bahwa
difteri terjadi hanya pada orang yang tidak memiliki antotoksin (atau kurang
dari 0,01 Lf unit/ mL ).
Imunitas
Status kebal seseorang merupakan penentu utama
apakah penyakit akan timbul atau tidak setelah invasi oleh kuman difteri.
Imunitas terhadap penyakit difteria terutama tergantung pada adanya titoxin di
dalam badan. Antitotoksin dibentuk sebagai respon terhadap infeksi-infeksi baik
klinik maupun subklinik, atau akibat imunisasi aktif buatan. Anti toksin ini dapat
dipindahkan secara alamiah misalnya secara transplasental di dalam uterus, atau
secara buatan seperti transfuse. Imunisasi bayi-bayi dan anak-anak pra sekolah
sangat menurunkan incidence difteria pada anak-anak, dan juga menyababkan
munurunnya umlah carrier. Kekebahalan seseorang terhadap toksin difteria dapat
di ketahui dengan melakukan reaksi Schick.
I.
Pengambilan bahan, Pemeriksaan, dan Pengirimannya
Bahan pemeriksaan berupa swab tenggorok
dan swab dari hidung, diambil dari penderita tersangka menderita difteria.
Keberhasilan isolasi C.diphtheriae tergantung
pada cara pengambilan dan pengiriman specimen ke laboratorium. Specimen harus
segera dikirim ke laboratorium agar dapat di tanam secepatnya pada perbenihan
khusus. Jika pengiriman specimen memerlikan waktu yang lama, maka pengirimannya
harus di lakukan dengan menggunakan perbenihan transport seperti perbenihan
Amies.
Bahan-bahan
yang diperlukan untuk pengambilan swab untuk pemeriksaan :
·
swab kapas yang steril
·
spatel dari kayu steril
·
perbenihan transport AMIES (kalau
laboratorium pemeriksaan jauh)
Bahan
pemeriksaan berupa swab tenggorok:
·
faring harus jelas kelihatan, harus ada
penerangan/cahaya yang baik.
·
Tekan lidah dengan spatel dan usaplah
tenggorok tanpa menyentuh lidah dan bagian dalam dari pipi.
·
Gosok swab pada membran, bintik-bintik
putih atau pada daerahyang meradang; sedikit tekan dengan gerakan memutar pada
swab.
Bahan
pemeriksaan berupa swab nasofaring:
·
Masukan swab kedalam faring melalui
lobang hidung, sampai ketemu dinding faring. Harus hati-hati jangan di paksa
dengan keras untuk menghindari kerusakan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Difteri adalah suatu penyakit infeksi toksik akut yang menular,
disebabkan oleh corynebacterium diphtheriae dengan ditandai pembentukan
pseudomembran pada kulit dan atau mukosa. Difteri adalah suatu infeksi demam
akut, biasanya ditenggorok dan paling sering pada bulan-bulan dingin pada
daerah beriklim sedang.
Morfologi bakteri Corynebacterium diptheriae yaitu
; Gram (+) batang, panjang/pendek, besar/kecil, polymorph, tidak
berspora, tidak berkapsul, tidak bergerak, bergranula yang terletak di salah
satu atau kedua ujung badan bacteri.
Bakteri ini ditularkan melalui
percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah
terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan
toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan
kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Pengobatan
difteri terletak terutama pada suspense cepat bakteri penghasil toksin oleh
obat. obat antimikroba dan pemberian awal antitoksin spesifik melawan toksin
yang dibentuk oleh organism di tempat masuk dan miltiplikasinya.
B.
Saran
Untuk mencegah
terjadinya wabah penyakit difteri sebaiknya mengikuti imunisasi rutin sejak
dini dan selengkapnya.
DAFTAR PUSTAKA
Related Posts: