Kenapa Gula Darah Bisa Naik?


Pertama-tama Anda harus tahu bagaimana tubuh mengatur gula. Gula dalam darah disebut glukosa, dan berasal dari sumber, yaitu dari makanan yang masuk dan yang diproduksi oleh hati.
Makanan sehari-hari seperti nasi, mi, roti, semua yang berasal dari padi-padian, juga buah-buahan, umbi-umbian, serta gula pasir, dan minuman soda, mengandung karbohidrat. Karbohidrat diserap tubuh lewat usus, kemudian berubah menjadi glukosa.
Glukosa berada di otot dan jaringan, merupakan sumber energy utama sel tubuh. Agar dapat melakukan fungsinya glukosa tubuh “teman” yang disebut insulin. Hormone insulin diproduksi oleh sel beta kelenjar pancreas. Tiap kali Anda makan pancreas mengeluarkan insulin kedalam aliran darah. Ibarat kunci, insulin membuka pin tu sel agar glukosa bias masuk . dengan demikian kadar glukosa dalam darah akan turun.
Hati merupakan tempat penyimpanan sekaligus pusat pengolahan glukosa. Pada saat kadar insulin meningkat seiring dengan makanan yang masuk ke tubuh, hati akan menimbun glukosa, yang nanti dialirkan menuju sel-sel tubuh bila dibutuhkan. Ketika Anda lapar atau tidak makan, insulin dalam darah rendah sehingga terpaksalah timbunan gula dalam hati (glikogen) diubah menjadi glukosa kembali dan dikelurkan melalui aliran darah yang berjalan menuju sel-sel tubuh.
Dalam pankreasjuga ada sel alfa yang memproduksi hormone glucagon. Jika kadar glukosa darah rendah, glucagon akan merangsang sel hati agar bekerja memecah glikogen menjadi glukosa.
Tubuh masih mempunyai sejumlah hormone lain yang fungsinya berlawanan dengan insulin, yaitu glucagon, epinefrin (adrenalin), dan kortisol (hormone steroid). Hormon-hormon ini memicu hati mengeluarka glukosa sehingga glukosa darah bias naik. Keseimbangan hormone-hormon dalam tubuh aan mempertahankan glu darah Anda berada tetap dalam batas normal.
Pada penderita diabetes, ada gangguan keseimbangan antara transportasi glukosa kedalam sel glukosa yang disimpan di ahti, serta glukosa yang dikeluarkan dari hati, sehingga kadar glukosa dalam darah meningkat. Selanjutnya kelebihan glukosa akan keluar melalui urine sehingga jumlah urine banyak dan mengandung gula. Penyebab keadaan ini hanya dua. Peratama, pancreas tidak mampu lagi membuat insulin. Kedua, sel tubuh tidak memberi respons pada kerja insulin sehingga glukosa tidak dapat masuk ke sel.
Bila tubuh anda gemuk karena kebanyakan lemak, banyak hormon di lemak ini yang bersifat menghalangi kinerja insulin. Insulin Anda tidak dapat berfungsi dengan baik sehingga gula darah menjadi suka di turunkan, itulah sebabnya mengapa gula darah pada orang gemuk biasanya tinggi.

Related Posts:

Makalah Bakteriologi Corynebacterium diptheriae


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Indonesia sangat riskan polemic – polemic yang terjadi di masyarakat, terutama di lingkup Kesehatan Masyarakat. Dari berbagai aspek,kesehatan sangatlah penting dalam kehidupan, dan telah sangat banyak masyarakat yang memahami akan pentingnya kesehatan.Namun hal tersebut tarpati hanya pada kalangan atas yang memiliki tingkat perekonomian yang mencuupi,sedang kalangan menegah ke bawah tidak begitu besar kesadaran personal akan pentingnya kesehatan. Hal itu banyak disebabkan karena tingka perekonomian yang mencekik beleggu kesadaran tersebut. Sehingga belakangan ini banyak tersebar berbagai endemic penyakit di Indonesia,misalnya : Difteri.
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala -gejala lokal dan sistemik,efeksistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 5 hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun carrier.
Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan segera. Bayi baru lahir biasanya membawa antibody secara pasif dari ibunya yang biasanya akan hilang pada usia 6 bulan, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah terbukti mengurangi insidensi penyakit tersebut. Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang-kadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk dengan angka kematian yang cukup tinggi, 50% penderita difteri meninggal dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa ini dapat terjadi terutama pada golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Tapi akhir-akhir ini berkat adanya Program Pengembangan Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak – anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah adalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian difteri ?
2.      Bagaimana Bakteri Corynebacterium diptheriae berdasarkan pengklasifikasian dan morfologinya ?
3.      Bagaimana petogenitas dan patologi bakteri Corynebacterium diptheriae   ?
4.      Bagaimana cara penularan bakteri Corynebacterium diptheriae ?
5.      Bagaimana Pemeriksaan Corynebacterium diptheriae serta pengobatannya ?
6.      Bagaimana gejala klinis dari penyakit difteri yang ditimbulkan oleh bakteri Corynebacterium difteriae?
7.      Bagaimana epidemologi, pencegahan, dan pengendalian bakteri Corynebacterium diptheriae ?
8.      Bagaimana resistensi dan imunitas bakteri Corynebacterium diptheriae ?
9.      Bagaimana cara pengambilan bahan pemeriksaan dan pengiriman bakteri Corynebacterium diptheriae ?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui pengertian difteri.
2.      Untuk mengetahui bakteri Corynobacterium diptheriae berdasarkan pengklasifikasiannya dan morfologinya.
3.      Untuk mengetahui patogenitas dan patologi bakteri Corynobacterium diptheriae.
4.      Untuk mengetahui bagaimana cara penularan bakteri Corynebacterium diptheriae.
5.      Untuk mengetahui pemeriksaan Corynobacterium diptheriae serta pencegahan  dan pengobatannya.
6.      Untuk mengetahui gejala klinis dari penyakit difteri yang ditimbulkan oleh bakteri Corynebacterium difteriae.
7.      Bagaimana epidemologi, pencegahan, dan pengendalian bakteri Corynebacterium diptheriae ?
8.      Untuk mengetahui bagaimana resistensi dan imunitas bakteri Corynebacterium diptheriae.
9.      Untuk mengetahui bagaimana cara pengambilan bahan pemeriksaan dan pengiriman bakteri Corynebacterium diptheriae.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Difteri
Difteri adalah suatu penyakit infeksi toksik akut yang menular, disebabkan oleh corynebacterium diphtheriae dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa. Difteri adalah suatu infeksi demam akut, biasanya ditenggorok dan paling sering pada bulan-bulan dingin pada daerah beriklim sedang. Dengan adanya imunisasi aktif pada masa anak-anakdini.  Difteri adalah suatu infeksi, akut yang mudah menular dan yang sering diserang adalah saluran pernafasam bagian atas dengan tanda khas timbulnya “pseudomembran”.
Diferi adalah penyakit akibat terjangkit bakteri yang bersumber dari corynebacterium diphtheriae (c. diphtheriae). Penyakit ini menyerang bagian atas murosasaluran pernafasan dan kulit yang terluka. Tanda-tanda yang dapat dirasakan ialah sakit letak dan demam secara tiba-tiba disertai tumbuhnya membrane kelabu yang menutupi tansil serta bagian saluran pernafasan.
Basil gram positif yang tidak membentuk spora merupakan kelompok berbeda dari bakteri. Banyak anggota genus corynebacterium dan ekuivalen anerobnya yaitu spesies propioni bacterium,adalah anggota flora normal kulit dan membrane mukosa manusia.corynebacteriumlain ditemukan pada hewan dan tanaman. Coryne bacterium difteriae adalah anggota kelompok basil tersebutyang paling penting,karena dapat menghasilkan eksotoksin kuat yang menyebabkan difteri pada manusia.
Spesies coryne bacterium dan bakteri terkait cenderung berbentuk tidak teratur dan seperti gada, meskipun tidak semua isolatmempunyai bentuk tidak beraturan, namun istilah”bakteri korineformis”merupakan istilah yang cocok untuk menunjukan kelompokspesies tersebut.bakteri bakteri tersebut mempunyai kandungan sitosin dan guanosin yang tinggidan mencakup genus corynebacterium, arcanobacterium, Brevibacterium, Mycobacrerium, dan lain lain.
Isolat genus corynebacterium yang sering ditemukan atau secara klinis penting yaitu:
a)      amycolatum
b)      minutissimum
c)      jeikeium
d)     C. pseudodiphtheritikum
e)      C. striatum
f)       C. urealyticum
g)      C. xerosis

B.     Klasifikasi Ilmiah Bakteri Corynebacterium diptheriae dan Morfologinya

Klasifikasi ilmiah bakteri Corynebacterium diptheriae yaitu sebagai berikut  :

1.      Kingdom         :           Bacteria
2.      Filum               :           Actinobacteria
3.      Ordo                :           Actinomycetales
4.      Famili              :           Corynebacteriaceae
5.      Genus              :           Corynebecterium
6.      Spesies            :           Corynebacterium diphtheria
7.      Spesies            :           -Corynebacterium diptheriae gravis
-Corynebacterium diptheriae mitis
-Corynebacterium diptheriae intermedium




http://textbookofbacteriology.net/corynebacterium.jpg 
Gambar bakteri
Corynebakterium difteriae            
    
Genus Corynebacterium terdiri dari berbagai kelompok bakteri patogen termasuk pada  hewan dan tanaman, serta saprophytes. Beberapa Corynebacteria merupakan bagian dari flora normal manusia, terdapay di hampir semua situs anatomi, terutama kulit dan mukosa hidung.
*      Morfologi dan identifikasi  Bakteri  Corynebacterium diptheriae
Gram (+) batang, panjang/pendek, besar/kecil, polymorph, tidak berspora, tidak berkapsul, tidak bergerak, bergranula yang terletak di salah satu atau kedua ujung badan bacteri.
1.      Pada pewarnaan menurut Neisser, tubuh bacteri berwarna kuning atau coklat muda sedangkan granulanya berwarna biru violet ( meta chromatis ).
2.      Preparat yang dibuat langsung dari specimen yang baru diambil dari pasien, letanya bakteri seperti  huruf – huruf  L, V, W, atau tangan  yang  jarinya terbuka atau sering di kenal sebagain Susunan sejajar / paralel / palisade / sudut tajam huruf  V, L, Y / tulisan cina
3.      Diameter 0,5 – 1 µm dan panjangnya 1 – 8 µm
4.      Menggembung pada satu  ujungnya berbentuk gada “club shape”
5.      Berisi granula yang tersebar secara tidak teratur dalam batang(sering dekat tubuh)dan dapat diwarnaidengan bahan celupan anilin (granula metakromatik) yang memberikan manik manic pada batang.
6.      Tidak punya spora Non motil Basil, Gram positif , pleiomorfik
7.      Tidak tahan asam Dinding sel mengandung asam meso diaminopimelik, arabinosa, galaktosa, asam mikolik
8.      Sifat-sifat Pertumbuhan : korinebakteria tumbuh pada sebagian besar pembenihan laboraturium. Propionibacterium, suatu “difteroid” yang anaerob. Pada perbenihan serum loeffer ,korinebakteria tumbuh jauh lebih mudah daripada kuman pathogen pernapasan lainnya, dan morfologi organisme adalah khas pada sediaan mikroskopik. Membentuk asam, tetapi tidak membentuk gas pada beberapa karbohidrat
9.      Variasi dan perubahan  : korinebakteria cenderung menjadi plemorf pada morfologi mikroskopik dan pada morfologi koloni. Variasi dari bentuk halus menjadi kasar pernah ditemukan. Varian dan strain tojsigenik sering tidak toksigenik. Bila sedikit kuman difteria tidak toksigenik diinfeksikan dengan bakteriofga dari kuman difteria tidak toksigenik diinfeksikan dengan bakteriofaga dari kuman difteria toksigenik tertentu, turunan dari kuman yang terinfeksi akan bersifat lisogenik dan toksigenik,dan sifat ini kemudian dapat diturunkan. Bila kuman difteria toksigenik dibiak berturut-turut pada antiserum spesifik terhadap faga tidak aktif yang ada di dalam selnya, kuman tersebut cenderung menjadi tidak toksigenik. Jadi penambahan faga  cenderung menimbulkan toksigenisitas (perubahanlisogenik). Pembuatan toksik sebenarnya mungkin hanya terjadi bila profaga lisogenik C diphtheria  terinduksi dan melisiskan sel . sedangkan toksigenitas sikendalikan gen faga< daya invasi dikendalikan gen kuman.

Pada agar darah, koloni C. difteriae berbentuk kecil, granular, dan berwarna abu abu, dengan tepi tidak beraturan , dan mungkin memiliki zona hemolisis kecil. Pada agar yang mengandung kalium telurit, koloni berwarna coklat sampai hitamdengan daerah halo berwarna coklat – hitam karena telurit direduksi secara intraseluler.
http://textbookofbacteriology.net/C.diphtheriaecolonies.jpg
Gambar koloni corynebacterium difteriae pada agar darah

Empat biotipe C.diphtheriae telah dikenal secara luas yaitu tipe garvis, intermedius, mitis, dan belfanti. Varian varian tersebut telah di golongkan berdasarkan cirri khas pertumbuhanseperti morfologi koloni, reaksi biokimia, dan keparahan penyakit yang disebabkan oleh infeksi. namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologic C.diphtheriae.  Ciri khas C.diphtheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro.
Sangat sedikit labolatorium rujukan yang memberikan karakterisasibiotipe, insiden difteri sangat berkurang dan hubungan keparan penyakit dengan biovarian tidak penting bagi penanganan kesehatan klinis dan masyarat terhadap kasus atau keadaan wabah. Jika diperlukan , pada keadaan wabah, imonukimia dan metode molekuler dapat  digunakan untuk menentukan isolat C.diphteriae.
C.diphtheria dan corynebacterium lain tumbuh secara aerob pada kebanyakan medium labolatorium yang biasa. Coryne bacterium tumbuh lebih baik dari pada organism pernapasan lain, dan morfologi organism  tersebut terlihat khas pada apusan.
Corynebacterium cenderung pleomorfik pada morfologi mikroskopik dan colonial. Bila beberapa organism difteri nontoksigenik terinfeksi bakteriofag basil difteri toksigenik tertentu, keturunan bakteri yang terpajan bersifat lisogenik dan toksigenik ,dan cirri kemudian bersifat herediter. Bila secara seri disubkultur pada anti serum spesifik terhadap fase temperate yang dibawanya , basil difteri toksigenik  cenderung menjadi tidak toksigenik .Oleh karena itu , akuisisi faga vmenyebabkan toksigenisitas(konfersi lisogenik ). Produksi toksin sebenarnya mungkin hanya terjadi bila profaga lisogenik c. diphteriae menjadi terinduksi dan melisiskan sel .Toksigenisitas dikendalikan gen faga , sedangkan invasivitas dikendalikan gen bakteri. 

C.    Patogenesis dan Patologi bakteri Corynebacterium diptheriae

*      Patogenesis
Pathogen utama manusia pada kelompok ini adalah c.diphteriae. di alam, C.diphteriae tedapat dalam saluran pernapasan .luka,atau kulit yang terinfeksi atau carrier normal. Organisme tersebut menyebar melalui droplet atau melalui kontak dengan orang yang rentan; basil kemudian tumbuh dimembran mukosa atau pada abrasi kulit . dan basil yang toksigenetik mulai menghasilkan toksin .
Semua C.diphteriae toksigenik mampu menguraikan eksotoksin yang menimbulkan penyakit yang sama . Produksi in vitro toksin ini sangat bergantung pada kosentrasi besi . produksa toksin bersifat optimal pada 0,14 ug besi permiliter medium tetapi  sebenarnya mengalami supresi pada 0,5 um/ml. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil toksin in vitro adalah tekanan osmotic ,kosentrasi asm amino ,pH, dan tersediaannya sumber nitrogen dan karbon yang sesuai . Faktor-faktor yang mengontrol produksi toksin in vivo belum dipahami dengan baik .
Toksin difteriadalah suatu polipeptida yang labil terhadap panas yang dapat bersifat letal pada dosis 0,1 ug/kg. jika ikatan disulfide dipecah ,molekul dapat dibagi menjadi dua fragmen .Fragmen Tidak mempunyai aktifitas bebas tetapi diperlukan untuk transport fragmen A ke dalam sel. Fragmen A menghambat pemanjangan rantai polipeptida _ membuat nikotinamid adenine dinukleutida (NAD)  ada dengan menginektivasi factor elongasi EF-.Faktor ini diperlukan untuk translokasi RNA polipeptidil dari akseptetor ke tempat donor pada ribosom eukariotik .Fragmen A TOKSIN menginaktifkan EF- dengan mengatalisis reaksi yang mengasilkan nikotinamid bebas ditambah kompleks adenosine difosfsat-ribosa-EF- inaktif . Ada anggapan bawa sistesis protein yang berhenti mendadak menyebabkan efek-efek nekrotkans dan neurotoksik  toksik difteri . Eksotoksin dengan cara kerja yang sama dapat diasilkan oleh strain pseudomonas aeruginosa.
*      Patologi
Toksin dipteri di absorpsi kedalam mukosa dan menyebabkan dekstruksi epitel dan respon radang superficial. Epitel nekrotikmelekat pada fibrin yang menonjol dan sel sel darah merah serta putih,sehingga terbentuk “pseudomembran” keabuan seringnya pada tonsil, faring, atau laring. Setiap usaha untuk mengangkat pseudomembran akan membuka dan merobek kapiler sehingga menyebabkan timbulnya perdarahan. Kelenjar getah bening regional di leher membesar, dan terdapat edema yang jelas di seluruh leher . basil difteri dalam membrane terus menghasilkan toksin secara aktif. Toksin di absorpsi dan terus menyebabkan kerusakan toksik di tempat yang jauh, terutama degenerasi parenkimatosa , infiltrasi lemak, dan nekrosis pada otot jantung, hati, ginjal, dan adrenal, kadang kadang di sertai pendarahan makroskopis. Toksin juga menyebabkan kerusakan saraf , sering mengakibatkan paralisis  palatum molle, otot mata, atau ekstremitas.
Difteri atau luka terutama terjadi di Negara tropis. Membran dapat terbentuk pada luka infeksi yang gagal sembuh. Absorpsi toksin biasanya  ringan dan efek sistemik dapat di abaikan . sejumlah kecil toksik yang di absorpsi selama infeksi kulit mencetuskan timbulnya antibody antitoksin “Virulensi” basil difteri disebabkan  oleh kapasitasnya dalam menyebabkan infeksi, pertumbuhan yang cepat , dan kemudian dengan cepat  menguraikan toksik yang di absorpsi secara efektif. C. difteriae perlu bersifat toksigenik untuk menyebabkan infeksi local- misalnya , di nasofaring atau kulit tetapi strain non toksigenik tidak menimbulkan efek toksik  local atau sistemik. C. diptheriae tidak menginfasi secara aktif  jaringan profunda  dan hamper tidak masuk ke dalam aliran darah.
D.    Cara Penularan
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf
a)      Faktor Perilaku
Kebiasaan yang dilakukan sehari-hari yang dapat mempengaruhi terjadinya penularan atau penyebaran penyakit difteri adalah sebagai berikut : tidak menutup mulut bila batuk atau bersin sehingga mempermudah penularan penyakit pada orang lain, membuang ludah/dahak tidak pada tempatnya, tidak membuka jendela, mencuci alat makan dengan bersih, memakai alat makan bergantian.
b)      Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian difteri antara lain meliputi tingkat kepadatan hunian rumah, sanitasi rumah, serta faktor pencahayaan dan ventilasi. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi munculnya penyakit seperti kita ketahui ada lingkungan fisik biologi, social dan ekonomi. Faktor lingkungan fisik yang meliputi kondisi geografi, udara, musim dan cuaca sangat mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap jenis penyakit tertentu. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan seseorang dalam adapatasi dengan lingkungannya tersebut
c)      Struktur antigenic
Telah ditemukan perbedaan serologik antara tipe dan dalam tiap-tiap tipe C diptheriae,tetapi tidak tersedia klasifikasi yang memuaskan. Tes-tes serologic umumnya tidak dipakai pada identifikasi . toksin difteria mengandung paling sedikit 4 penentu antigenic.
d)     Daya Tahan dan Kekebalan
Karena pada dasarnya penyakit difteri adalah akibat daya kerja toksin yang akibat daya kerja toksin yang dibentuk oleh organisme dan bukan karena invasi kuman, resistensi terhadap penyakit sebagian besar tergantung pada terdapatnya antitoksin netralisasi spesifik dalam darah dan jaringan. Umumnya benae bahwa difter terdapatnya amtitoksin atau kurang dari 0,01 Lf satuan/ml. Jadi, pengobatan difteri sebagian besar tergantung pada penekanan yang cepat pada kuman penghasil toksin yang dibentuk oleh organisme pada tempat0rtempat masuk dan pembiakan. Terdapat kekebalan aktif atau kekebalan antitoksin pasif terhadap difteri. Jumlah antitoksin relative yang dimiliki seseorang saat tertentu dapat diperkirakan menurut salah satu dari 2 cara:
a)      Titrasi serum untuk Kadar Antitoksin  : (terlalu kompleks untuk pemakaian rutin ). Serum dicampur dengan berbagai jumlah toksin dan campuran disuntikkan ke dalam binatang yang peka. Makin banyak jumlah toksin yng dinetralkan ,makin tinggi konsentrasi antitoksin dalam serum
b)      Tes Schick :tes ini berdasarkan kenyataan bahwa toksin difteri sangat menganggu dan mengakibatkan reaksi local nyata bila disuntikkan intradermal kecuali bila toksin dinetralkan oleh antitoksin dalam tubuh. Satu dosis tes Schick (jumlah standar toksin yang bila dicampur dengan 0,001 satuan antitoksin difteri US Standard dan disuntikkan intradermal pada marmot akan mengakibatkan reaksi eritama dengan garis tengah 10 mm) disuntikkan ke dalam kulit salah saru lengan bawah dan toksin yang telah dipanaskan dalam jumlah yang sama disuntikkan kedalam lengan bawah lainnya sebagai control. (pemanasan selama 15 menit pada 60˚C merusak efek toksin). Tes ini harus dibaca selama 24 dan 48 jam dn sekali lagi 6 hari . hail –hasil dictatsikan sebagai berikut.:

1)      Reaksi positif (kepekaan terhadap tiksin difteri, yaitu tidak adanya antioksin netralisasi dalam jumlah cukup ; kurang dari 0,01 Lf satuan/ ml)- toksin menimbulkan kemerahan dan pembengkakan yang bertambah selama beberapa hari dan kemudian menghilangkan dengan lambat, meninggalkan daerah berpigmen kecoklat-coklatan. Tempat control tidak menunjukkan reaksi.
2)      Reaksi negative (antitoksin terdapat dalam jumlah cukup; biasanya salam jumlah yang lebih banyak dari 0,02 Lf satuan/ ml serum)-tidak ada tempat suntikan yang menunjukkan reaksi.
3)      Pseodoreaksi-reaksi tes schick dapat dipersulit oleh bahan-bahan hipersensitivitas yang bukan toksin yang terdapat dalam suntikan.pseudoreaksi menunjukkan kemerahan dan pembengkakan pada kedua lengan yang menghilang serentak pada hari kedua atau ketiga. Pseudoreaksi merupakan reaksi negative.
Rekasi gabungan –reaksi gabungan di mulai seperti pseudoreaksi, dengan kemerahan dan pembengkakan pada kedua tempat suntikan; toksin kemudian terus menunjukkan efeknya, akan tetapi, reaksi pada tempat control menghilang depan cepat. Ini menunjukkan hipersensitivitas serta kepekaan relative terhadap toksin

E.     Pemeriksaan dan Pengobatan

*      Pemeriksaan uji labolatorium diagnostic
Uji labolatorium ini berfungsi untuk menegakkan kesan klinis dan signifikansi epidemiologi. Catatan : pengobatan spesifik jangan pernah di tunda untuk laporan labolatorium jika gambaran klinis secara kuat menunjukan difteri.
Apusan dari hidung , tenggorok, atau lesi lain yang dicurigai harus diperoleh sebelum obat obat anti mikroba dirikan.  Apusan di warnai dengan metilen biru alkali atau pewarnaan gram yang memperlihatkan batang batang bermanik dalam susunan yang khas.
Inokulasi lempeng agar darah ( untuk menyingkirkan streptococcus hemolitik), slant lofferler, dan lempeng telurit( misalnya, agar sistin- telurit atau medium tinslade  dimodifikasi) dan inkubasikan semuanya pada suhu 37 c . kecuali jika dapat di inokulasi secara tepat, apusan harus dijaga agar tetap lembab dengan serum kuda steril sehingga basil akan tetap hidup.  Dalam 12-18 jam , slant loeffler dapat menghasilkan organism dengan morfologi” seperti  difteri” yang khas.  Dalam 36-48 jam, koloni dalam medium telurit cukup jelas untuk mengenali C. diphteriae.
Isolat C. diphteriae presumtif harus di jadikan subjek pada pengujian untuk toksigenisitas. Uji uji seperti ini dilakukan hanya di labolatorium kasehatan masyarakat rujukan.  Terdapat beberapa metode sebagai berikut:
1.       Cakram kertas filter yang mengandung anti toksin ditempatkan di atas lempeng agar. Biakan yang di uji untuk memeriksa  toksigenisitas di gores  di atas lempeng yang  berdekatan dengan diskus. Setelah 48 jam inkubasi, anti toksin yang berdifusi  dari biakan toksigenik dan menyebabkan pita presipitat antara cakran dan pertumbuhan bakteri . Uji tersebut adalah metode Elek yang dimodifikasi yang dideskripsikan oleh unit rujukan Difteri WHO.
2.       Metode terbasis reaksi rantai polymerase telah dijelaskan untuk deteksi gen toksin difteri . Uji PCR  untuk tox juga dapat digunakan secara lansung pada specimen pasien sebelum ada hasil biakan. Biakan positif setelah terapi anti biotic  bersama dengan uji PCR yang positif menunjukan bahwa pasien mungkin menderita difteri .
3.       Enzime-linked immunosorbent assay dapat digunakan untuk mendeteksi toksin difteri dari isolat C. diphteriae klinis.
4.       Suatu uji strip imunokromografi memungkinkan deteksi toksin difteri dalam beberapa jam.
Berdasarkankan sejarah, toksigenisitas isolat C. diphteriae dapat diperlihatkan dengan menyuntikan isolate yang di emulsi kedalam tubuh dua marmut .  jika marmot yang di lindungi dengan antitoksin difteri dapat bertahan hidup, sedangkan yang tidak di lindungi mati, isolate di anggap bersifat toksigenik . uji ini sebagian besar talah di gantikan oleh tehnologi yang lebih baru atau mederen.
*      Pengobatan
Pengobatan difteri terletak terutama pada suspense cepat bakteri penghasil toksin oleh obat. obat antimikroba dan pemberian awal antitoksin spesifik melawan toksin yang dibentuk oleh organism di tempat masuk dan miltiplikasinya. Antitoksin difteri dihasilkan oleh berbagai hewan (kuda, domba , kambing, dan kelinci) dengan injeksi berulang toksoid yang di murnikan dan dikonsentrasikan. Pengobatan dengan antitoksin merupakan keharusan bila terdapat kecurigaan klinis kuat terjadi difteri. Dari 20.000 sampai 100.000 unit disuntikan secara intramuscular atau intravena setelah tindakan pencegahan yang sesuai dilakukan ( uji kulit atau konjungtuva) untuk menyingkirkan hipersensivitas terhadap serum hawan. Antioksidan sebaiknya diberikan  pada hari diagnosis klinis difteri  dibuat dan tidak perlu di ulang.  Suntikan intramuscular dapt digunakan pada kasus ringan.
Obat- obat antimikroba ( penisilin, eritromisin) menghambat pertumbuhan basil difteri. Meskipun sebenarnyatidak mempunyai efek yang nyata terhadap proses penyaki, obat- obat ini menghentikan produksi toksin. Obat- obat tersebut juga membantu mengeliminasi streptococcus yang muncul bersama penyakit dan C. diptheriae dari saluran pernapasan pasien atau carrier penyakit. Obat-obat antijasad renik (penislin, eritronisin) menghambat pertumbuhan basil difteri. Walaupun obat-obat ini sebenarnya tidak mempunyai efek pada proses penyakitnya, obat-obat ini menghentikan pembentukan toksin. Obat –obat ini jyga membantu menghilangkan adanya streptokok dan C diphtheria dari saluran pernapasan penderita atau pembawa kuman.
Pemberian antibiotika (tetrasilin) dapat menghambat kerja lipolitik difteroid anaerobic propioni.
F.     Temuan Klinis
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai factor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenitas C. diphtheriae ( kemampuan kuman membentuk toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya dating untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9ºC dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.
1.      Difteri Saluran Pernapasan
Bila radang difteri terjadi di saluran pernapasan, bisanya timbul nyeri tenggorokan dan demam.  Kelemahan dan dispnea segera terjadi karna obstruksi yang disebabkan oleh membran. Obstruksi tersebut bahkan dapat menyebabkan rasa tercekik jika tidak segera dihilangkan dengan intubasi atau trakeostomi . ketidak teraturan irama jantung menunjukan kerusakan jantung. Kemudian, dapat terjadi gangguan pada mata , kesulitan bicara, menelan, atau menggerakan  langan atau tungkai . semua manifestasi tersebut cenderung menghilang secara spontan.
Secara umum vas gravi cenderung menyebabkan penyakit yang lebih berat dari pada vas mitis , tetapi penyakit yang sama dapat ditimbulkan oleh semua jenis (varian).
2.      Difteri Hidung
Difteria hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan pembentukan membrane. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.
3.      Difteri Tonsil Faring
Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang umum, tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau nyeri kepala. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat berwarna putih kelabu, injeksi faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula, palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis. Edema jaringan lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran “bull neck”. Selanjutnya gejala tergantung dari derajat peneterasi toksin dan luas membrane. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bias terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bias disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membrane akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
4.      Difteri Laring
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Penderita dengan difteri laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan penyumbatan lepasan epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pada difteria faring primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada Obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membrane yang menutup jalan nafas biasa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membrane dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.
5.      Difteri Kulit
Difteri kulit berupa tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi nonprogresif lamban yang ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh, superficial, ektimik dengan membrane coklat keabu-abuan. Infeksi difteri kulit tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo streptokokus atau stafilokokus, dan mereka biasanya bersama. Pada kebanyakan kasus, dermatosis yang mendasari, luka goresan, luka bakar atau impetigo yang telah terkontaminasi sekunder. Tungkai lebih sering terkena dari pada badan atau kepala. Nyeri, sakit, eritema, dan eksudat khas. Hiperestesi lokal atau hipestesia tidak lazim. Kolonisasi saluran pernapasan atau infeksi bergejala dan komplikasi toksik terjadi pada sebagian kecil penderita dengan difteri kulit.
6.      Difteri Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga
C. diphtheriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada tempat-tempat lain, seperti telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta dan ulseratif), dan saluran genital (vulvovginitis purulenta dan ulseratif). Wujud klinis, ulserasi, pembentukan membrane dan perdarahan submukosa membantu membedakan difteri dari penyebab bakteri dan virus lain.

G.    Epidemologi, Pencegahan, dan Pengendalian
Sebelum adanya imunisasi buatan, difteri adalah penyakit yang teritama menyerang anak kecil. Infeksi terjadi secara klinis atau subklinis pada usia dini dan menyebabkan produksi antitoksin yang menyebar luas dalam populasi. Infeksi asimtomatik selama masa remaja dan dewasa berperan sebagai stimulus untuk mempertahankan kadar antitoksin tetap tinggi. Oleh karna itu, kebanyakan anggota masyarakat, kecuali anak-anak, menjadi imun.
Pada usia 6-8 tahun , sekitar 75% anak di Negara berkembang tempat sering terjadinya infeksi kulit oleh C. diptheriae , mempunyai kadar antitoksin serum protektif. Absorpsi sejumlah kecil toksin difteri dari infeksi kulit agaknya memberikan stimulus antigenic untuk respon imun; jumlah toksin yang diabsorpsi tidak menimbulkan penyakit.
Imunisasi aktif pada masa kanak- kanak dengan toksoid difteri menghasilkan kadar antitoksin yang secara umum adekuat sampai remaja. Dewasa muda sebaiknya di beri boster toksoid , karena basil difteri toksogenik tidak cukup lazim pada populasi  di banyak Negara maju  untuk memberikan stimulus infeksi subklinis dengan stimulus resistensi. Kadar antioksidan menurun seiring waktu,  dan banyak orang tua mempunyai jumlah antitoksin dalam sirkulasi yang tidak cukup untuk melindungi mereka terhadap difteri.
Tujuan utama pencegahan adalah membatasi distribusi basil difreri toksigenik pada populasi dan untuk mempertahankan kadar imunisasi aktif setinggi mungkin. Untuk membatasi kontak dengan basil difteri sampai minimum, penderita bakteri sebaiknya di isolasi . tanpa pengobatan, sejumlah besar pasien yang terinfeksi tetap melepaskan basil difteri selama ber minggu minggu atau bulan setelah pemulihan (carrier konvalesen). Bahaya ini dapat banyak dikurangi dengan pengobatan awal yang aktifdengan  Pemberian anti biotic.
Filtrat biakan kaldu strain toksigenik diberikan formalin 0,3% dan di inkubasi pada suhu 37 c  sampai toksisitas hilang. Tooksoid cairan tersebut dimurnikan dan distandarisasi dalam satuan flokulan. (dosis Lf). Toksoid cairan yang disediakan  seperti di atas diabsorpsi kedalam  aluminium hidroksida atau aluminium fosfat. Bahkan tersebut bertahan lebih lama  dalam depot setelah suntikan  dan merupakan anti gen yang lebih baik toksoid tersebut sering dikombinasikan dengan toksoid tetanus (Td) dan kadang kadang dengan vaksin pertusis (DPT) sebagai suntikan tunggal untuk digunakan pada imunisasi awal anak anak. Untuk suntikan ulasan dewasa, hanya toksoid Td yang digunakan; semua  mengombinasi dosis penuh toksoid tetanus  dengan dosis toksoid difteri sepuluh kali lipat lebih kecil untuk mengurangi kemungkinan reaksi yang merugikan.
Semua anak harus menerima imunisasi awal dan ulangan. Ulangan teratur dengan Td terutama penting untuk orang dewasa yang bepergian kenegara Negara berkembang, tempat ident difteri klinis 1.000 kali lebih tinggi dari pada dinegara maju, tempat imunisasi bersifat universal.


H.    Resistensi dan Imunitas

*      Resistensi
Karena difteri secara prinsip disebabkan oleh kerja toksin yang di bentuk oleh           Organisme bukan karna infasi oleh organisme , resistensi terhadap penyakit sebagian besar  bergantung pada tersedianya anti oksidan penetrral spesifik dalam aliran darah dan jaringan. Secara umum, benar bahwa difteri terjadi hanya pada orang yang tidak memiliki antotoksin (atau kurang dari 0,01 Lf unit/ mL ).

*      Imunitas
Status kebal seseorang merupakan penentu utama apakah penyakit akan timbul atau tidak setelah invasi oleh kuman difteri. Imunitas terhadap penyakit difteria terutama tergantung pada adanya titoxin di dalam badan. Antitotoksin dibentuk sebagai respon terhadap infeksi-infeksi baik klinik maupun subklinik, atau akibat imunisasi aktif buatan. Anti toksin ini dapat dipindahkan secara alamiah misalnya secara transplasental di dalam uterus, atau secara buatan seperti transfuse. Imunisasi bayi-bayi dan anak-anak pra sekolah sangat menurunkan incidence difteria pada anak-anak, dan juga menyababkan munurunnya umlah carrier. Kekebahalan seseorang terhadap toksin difteria dapat di ketahui dengan melakukan reaksi Schick.

I.       Pengambilan bahan, Pemeriksaan, dan Pengirimannya
Bahan pemeriksaan berupa swab tenggorok dan swab dari hidung, diambil dari penderita tersangka menderita difteria. Keberhasilan isolasi C.diphtheriae tergantung pada cara pengambilan dan pengiriman specimen ke laboratorium. Specimen harus segera dikirim ke laboratorium agar dapat di tanam secepatnya pada perbenihan khusus. Jika pengiriman specimen memerlikan waktu yang lama, maka pengirimannya harus di lakukan dengan menggunakan perbenihan transport seperti perbenihan Amies.
Bahan-bahan yang diperlukan untuk pengambilan swab untuk pemeriksaan :
·         swab kapas yang steril
·         spatel dari kayu steril
·         perbenihan transport AMIES (kalau laboratorium pemeriksaan jauh)
Bahan pemeriksaan berupa swab tenggorok:
·         faring harus jelas kelihatan, harus ada penerangan/cahaya yang baik.
·         Tekan lidah dengan spatel dan usaplah tenggorok tanpa menyentuh lidah dan bagian dalam dari pipi.
·         Gosok swab pada membran, bintik-bintik putih atau pada daerahyang meradang; sedikit tekan dengan gerakan memutar pada swab.
Bahan pemeriksaan berupa swab nasofaring:
·         Masukan swab kedalam faring melalui lobang hidung, sampai ketemu dinding faring. Harus hati-hati jangan di paksa dengan keras untuk menghindari kerusakan.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Difteri adalah suatu penyakit infeksi toksik akut yang menular, disebabkan oleh corynebacterium diphtheriae dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa. Difteri adalah suatu infeksi demam akut, biasanya ditenggorok dan paling sering pada bulan-bulan dingin pada daerah beriklim sedang.
Morfologi bakteri Corynebacterium diptheriae  yaitu ; Gram (+) batang, panjang/pendek, besar/kecil, polymorph, tidak berspora, tidak berkapsul, tidak bergerak, bergranula yang terletak di salah satu atau kedua ujung badan bacteri.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Pengobatan difteri terletak terutama pada suspense cepat bakteri penghasil toksin oleh obat. obat antimikroba dan pemberian awal antitoksin spesifik melawan toksin yang dibentuk oleh organism di tempat masuk dan miltiplikasinya.

B.     Saran
Untuk mencegah terjadinya wabah penyakit difteri sebaiknya mengikuti imunisasi rutin sejak dini dan selengkapnya.



DAFTAR PUSTAKA




Related Posts: